Abida Ahmed, 27, mantan mahasiswa Universitas Muslim Aligarh (AMU) kehilangan tiga anggota keluarganya sejak gelombang COVID-19 melanda India pada April lalu. Terlepas dari duka yang mendalam, Abida memberanikan diri untuk mendaftarkan suntikan vaksin pertamanya melalui aplikasi CoWIN yang dikelola pemerintah.
"Ribuan orang India sekarat setiap hari hanya karena mereka sulit mendapatkan oksigen. Banyak lagi yang bahkan tidak bisa dimakamkan dengan layak," kata Abida kepada DW.
"Bagaimana Anda menghibur atau memberi harapan kepada kami? Mengapa kami percaya kepada pemerintah ketika mereka tidak dapat berbuat apa-apa di saat orang-orang sekarat?" dia bertanya.
Amna Khatoon, seorang karyawan swasta, juga kehilangan pamannya karena COVID-19. "Banyak orang yang wafat akibat gelombang kedua, meskipun sudah disuntik vaksin. Tidak ada informasi yang jelas dari pihak berwenang tentang kemanjuran vaksin," kata Khatoon kepada DW.
"Ada ketakutan terhadap keraguan vaksin, karena orang berpikir itu akan menyebabkan efek buruk. Kecemasan ini adalah sesuatu yang perlu kita hilangkan," kata Ali Jafar Abedi dari departemen kedokteran komunitas kepada DW.
Keraguan terhadap vaksin COVID-19
Selama dua bulan terakhir, sebagian komunitas muslim merasa was-was terhadap inokulasi, terutama setelah kematian Maulana Wali Rahmani, Sekretaris Jenderal Dewan Hukum Pribadi Muslim Seluruh India. Dia menerima suntikan pertama vaksin corona kurang dari seminggu sebelum dinyatakan positif.
Kematian Rahmani semakin menimbulkan keraguan di masyarakat tentang kemanjuran vaksin. Untuk mengatasi kesalahpahaman tersebut, beberapa pemimpin muslim pun meluncurkan kampanye untuk membujuk masyarakat agar mau disuntik vaksin COVID-19.
Wilayah yang dilanda krisis kesehatan parah
Infrastruktur kesehatan di Kota Aligarh dengan populasi lebih dari 1,2 juta penduduk, kebanjiran pasien sejak April dan Mei lalu. Penduduk di sejumlah kota tetangga seperti Kasganj, Hathras, dan Iglas juga mendatangi fasilitas medis di Aligarh untuk mendapatkan perawatan.
"Kondisi itu adalah mimpi buruk, pemerintah tidak membantu kami. Warga saling membantu, tetapi tidak ada tempat tidur di rumah sakit," Asha Devi, seorang ibu rumah tangga dari Hathras, mengatakan kepada DW.
Perlu meredam informasi yang tidak jelas
Wakil Rektor AMU Tariq Mansoor mengatakan keraguan terhadap vaksin telah berkontribusi pada penyebaran virus corona di kampus. "Keraguan akan vaksin memainkan peranan penting dalam sejumlah besar kasus COVID-19 di antara karyawan universitas dan keluarga mereka," kata Mansoor dalam surat terbuka kepada komunitas AMU bulan lalu.
"Vaksinasi diperlukan untuk mengendalikan situasi saat ini, serta mencegah potensi gelombang ketiga di masa depan," katanya.
Beberapa percaya bahwa keraguan vaksin juga merupakan akibat dari komunikasi yang buruk. "Sejak awal, seharusnya ada pesan yang jelas untuk mengatakan bahwa vaksinasi akan melindungi warga dari penyakit serius, dan ini tidak pernah dicoba," kata seorang anggota fakultas senior kepada DW.
"Ada banyak desas-desus tentang vaksin, tetapi salah satu yang beredar di kalangan muslim adalah bahwa vaksinasi itu adalah taktik untuk mengendalikan populasi muslim," tambahnya.
Menghilangkan rumor dan teori konspirasi semacam itu sangat sulit, tetapi beberapa orang merasa bahwa masalah yang lebih besar adalah ketidakpercayaan mendasar terhadap pihak berwenang.
Dokter Saira Mehnaz mengatakan masyarakat bisa mengatasi masalah keragu-raguan vaksin. "Tetapi, yang sangat kami butuhkan adalah peluncuran vaksin yang cepat sehingga orang dapat disuntik dan aman." (ha/gtp)