REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- 'Pemerintahan Perubahan' di Israel dinilai dapat membawa harapan bagi normalisasi politik yang berorientasi keamanan.
Haydar Oruc dari Pusat Studi Timur Tengah (ORSAM) menggambarkan pemerintahan baru yang dibentuk pada 2 Juni sebagai "titik balik potensial".
"Meskipun terlalu dini untuk mengatakan bahwa kebuntuan politik yang telah dialami Israel selama dua setengah tahun terakhir telah berakhir, kita dapat mengatakan bahwa hanya ada beberapa hari tersisa untuk menyuarakan klaim ini di era Netanyahu," kata dia.
Pemerintahan Yair Lapid-Naftali Bennett dibentuk oleh delapan partai dari sayap kiri dan kanan, menggantikan pemerintahan pimpinan Benjamin Netanyahu yang berkuasa selama 12 tahun.
"Untuk pertama kalinya, sebuah partai Arab akan mengambil bagian dalam pemerintah sebagai mitra koalisi, meskipun tidak secara langsung. Mudah-mudahan ini efektif dalam menentukan kebijakan pemerintah," kata dia lagi.
Oruc juga mengatakan perbedaan etnis dan ideologis di antara mitra koalisi baru menonjol. Tujuan mereka adalah untuk mengakhiri hegemoni Netanyahu dalam politik Israel.
Dia menyoroti peran Lapid dalam pembentukan pemerintahan, yang menggalang 17 suara di Knesset.
"Meskipun dia sadar akan sulitnya membentuk pemerintahan, dia tidak serta-merta bersikeras jadi perdana menteri. Dia justru menyerahkan jabatan itu kepada Naftali Bennett, yang akhirnya membawa kemenangan bagi mereka," tambah pakar itu.
Normalisasi