Senin 14 Jun 2021 08:35 WIB

Penelusuran The Times Inggris Soal Pencalonan Putra Qaddafi

The Times menyebut pencalonan putra Qaddafi didukung penuh Rusia.

Rep: Puti Almas/ Red: Nashih Nashrullah
The Times menyebut pencalonan putra Qaddafi didukung penuh Rusia.
Foto: Daily Mail
The Times menyebut pencalonan putra Qaddafi didukung penuh Rusia.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Sebuah surat kabar Inggris, The Times, melaporkan bahwa pihaknya menerima sejumlah infomasi yang menunjukkan bahwa Saif al Islam, putra mantan pemimpin Libya, Muammar Qaddafi, berencana mencalonkan diri dalam pemilihan di negara asalnya itu pada akhir tahun ini. 

Menurut The Times, Saif yang belum pernah terlihat di depan publik sejak ditangkap 10 tahun lalu mengonfirmasi bahwa dirinya baik-baik saja. Laporan media itu mengatakan bahwa perbicangan ini dilakukan melalui telepon yang diatur untuk mengklarifikasi hubungan dengan tim penasihat yang bertindak atas nama Saif. 

Baca Juga

Dałam pembicaraan itu, Saif mengatakan bahwa akan muncul kembali ke hadapan publik setelah berhasil menjangkau para diplomat negara-negara Barat dan pihak-pihak lainnya untuk membangun kredensialnya. 

Hingga saat ini, pria berusia 48 tahun itu masih menjadi buronan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan perang.  

The Times menyebut, penasihat yang bertindak atas nama Saif mengatakan bahwa kliennya bermaksud mencalonkan diri dalam pemilihan Libya pada 24 Desember mendatang. Namun, pengumuman pencalonan secara resmi masih terlalu dini dilakukan, setidaknya hingga undang-undang pemilihan di negara itu diadopsi. 

Terdapat kemungkinan bahwa Saif dilarang mencalonkan diri menurut undang-undang pemilihan di Libya. Putra kedua dari Qaddafi ini ditangkap pada 2011 oleh pasukan pemberontak dan dijatuhi hukuman mati pada 2015. 

Namun, dua tahun kemudian, tepatnya pada 2017, Saif dikabarkan telah dibebaskan. Sejumlah berita menyebut bahwa ia bersembunyi di Zintan dan terdapat rumor yang mempertanyakan kondisinya dalam keadaan hidup atau telah tiada. 

The Times mengatakan, pencalonan diri Saif dalam pemilihan presiden Libya tahun ini diduga mendapat dukungan Rusia. Hal ini diyakini karena pada 2019, dua agen politik Moskow yang dikirim untuk membantunya mencalonkan diri sebagai presiden ditangkap di Tripoli, dan catatan dari diskusi mereka ditemukan. 

Lebih lanjut, The Times mengatakan bahwa Saif dapat mengandalkan nostalgia untuk stabilitas relatif pemerintahan ayahnya. Kondisi Libya yang jatuh dalam perang saudara pascapenggulingan rezim Qaddafi pada 2011, telah mendorong banyak orang di negara Afrika itu untuk mempertanyakan apakah pemberontakan yang terjadi adalah sebuah kesalahan. 

Sejak pemberontakan dimulai, ribuan orang telah terbunuh. Libya masih dilanda konflik hingga saat ini dengan perpecahan secara politik dan militer yang terjadi.  

Sejumlah pihak meyakini Saif memiliki peluang yang layak untuk memenangkan pemilihan presiden Libya. Terlepas dari masa lalu, ia memiliki dukungan yang cukup besar di negara itu, khususnya dari wilayah selatan dan tengah. 

The Times mengatakan bahwa Saif tampaknya secara khusus akan mengandalkan dukungan internal daripada internasional. Wolfram Lacher, seorang analis di lembaga Jerman, SWP, mengatakan, Saif tidak secara terbuka menjadi sosok yang diproyeksikan oleh khayalan penyelamat.  

“Saya skeptis Saif dapat mempertahankan citra penyelamat ini begitu ia terbuka dan harus berurusan dengan pertanyaan kehidupan nyata yang dihadapi orang-orang Libya,” ujar Lacher, dilansir Libya Review, Ahad (13/6).  

Saif selama ini dikenal sebagai putra Qaddafi yang menempuh pendidikan di Inggris. Ia menerima gelar PhD dari London School of Economics, meski ada sejumlah tuduhan yang menyebut bahwa ini adalah gelar palsu yang dibuat untuk membuat namanya terlihat baik bagi publik Libya. 

 

Sumber: libyareview

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement