REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menyerukan penyelidikan menyeluruh mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia selama pemerintah Filipina menggelar perang terhadap pengedar narkoba. Jaksa ICC Fatou Bensouda yang akan berhenti dari jabatannya pekan ini menggelar penyelidikan awal pada tahun 2018.
Tidak lama kemudian Presiden Filipina Rodrigo Duterte menarik negaranya dari keanggotaan ICC. Dilaporkan ribuan rakyat sipil tewas selama operasi anti-narkoba Filipina.
Data nasional mengakui kematian lebih dari 6.000 orang. Tapi organisasi-organisasi hak asasi manusia memperingatkan jumlahnya jauh lebih tinggi lagi. Selama bertahun-tahun operasi anti-narkoba Filipina yang kontroversial memicu kecaman masyarakat internasional termasuk dari PBB.
Pada Oktober 2016 lalu, Bensouda mengatakan ia 'sangat khawatir' dengan laporan-laporan pembunuhan ekstrayudisial. Pada Selasa (15/6), BBC melaporkan Bensouda mengatakan telah menetapkan dasar-dasar alasan untuk menyakini pembunuhan terlah dilakukan dan ia meminta hakim pengadilan kejahatan perang untuk melakukan penyelidikan menyeluruh.
Ia meminta penyelidikan tersebut diawasi penggantinya. Pada Rabu (16/6), Bensouda akan digantikan pengacara asal Inggris Karim Khan.
Dalam pernyataannya ia mengatakan informasi-informasi yang tersedia mengindikasi para anggota polisi Filipina dan kelompok lain telah melakukan pembunuhan tanpa peradilan. Selama periode Juli 2016 hingga Maret 2019 Bensouda mengatakan korbannya mulai dari ribuan hingga puluhan ribu orang.
Ia mengatakan ICC memiliki wewenang untuk menyelidiki kejahatan kemanusiaan selama negara itu bagian dari mahkamah internasional. Sebelum Duterte menarik Filipina dari ICC.
Presiden penuh kontroversi itu dikenal dengan gaya bicaranya yang blak-blakan dan tidak memiliki rasa penyesalan atas kebijakan anti-narkobanya yang mematikan. Ia berulang kali mengatakan ICC tidak memiliki yuridiksi atasnya dan tidak akan bekerja sama dengan penyelidikan.
Perkembangan ICC disambut baik organisasi-organisasi hak asasi manusia. Amnesty International menyebut penyelidikan itu sebagai 'tonggak penting' yang dapat memberikan 'sebuah momen harapan bagi ribuan keluarga' yang kehilangan orang-orang tercintanya.