REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Mantan perdana menteri Israel Benjamin Netanyahu memuji pencapaian pemerintahannya dalam menormalisasi hubungan dengan negara-negara Arab. Hal itu disampaikan saat dia didepak dari jabatannya oleh pemerintahan koalisi pimpinan Naftali Bennett dan Yair Lapid.
“Abraham Accords memungkinkan kita keluar dari persamaan tanah untuk perdamaian ke perdamaian untuk perdamaian, dan kami tidak menyerah,” kata Netanyahu mengacu pada kesepakatan damai yang ditandatangani Israel dengan negara-negara Arab, dikutip laman Middle East Monitor, Selasa (15/6).
"Kami berjuang dengan tekad melawan upaya Iran untuk memperoleh senjata nuklir, dan kami juga menyimpulkan perjanjian damai bersejarah dengan UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko," ujar Netanyahu.
Pada Ahad (13/6), parlemen Israel (Knesset) memberikan suara untuk menentukan apakah mereka mendukung pemerintahan koalisi baru pimpinan Naftali Bennett dan Yair Lapid. Hasilnya, dari total 120 anggota, 60 di antaranya memberikan dukungan, sementara 59 lainnya menolak. Meski selisihnya sangat tipis, hasil itu mengakhiri masa jabatan Netanyahu yang telah berlangsung selama 12 tahun berturut-turut.
Abraham Accords adalah salah satu pencapaian signifikan pemerintahan Netanyahu. Kesepakatan perdamaian dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain itu tercapai pada Agustus tahun lalu. Pemerintahan mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berperan besar dalam memediasi serta menjembatani ketiga pihak terkait.
Dalam perjanjian normalisasi itu, Bahrain dan UEA setuju membuka penerbangan langsung dari dan ke Israel. Para pihak pun sepakat membuka kedutaan besar di negara masing-masing. Normalisasi Israel dengan Bahrain dan UEA merupakan pukulan besar bagi perjuangan kemerdekaan Palestina.
Palestina, yang selama ini selalu mendapat dukungan penuh dari negara Arab, memandang kesepakatan normalisasi sebagai sebuah tusukan dari belakang. Selain Bahrain dan UEA, pemerintahan Trump membantu Israel mencapai kesepakatan serupa dengan Sudan dan Maroko.