REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan dia telah menerima jaminan dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tentang penarikan tentara bayaran asing dari Libya. Hal itu akan dilakukan sesegera mungkin.
"Kami setuju untuk bekerja pada penarikan ini (tentara bayaran asing). Itu tidak hanya bergantung pada kami berdua, tapi saya dapat memberitahu Anda, Presiden Erdogan menegaskan selama pertemuan kami keinginannya bahwa tentara bayaran asing, milisi asing, beroperasi di tanah Libya pergi sesegera mungkin," kata Macron seusai menghadiri pertemuan puncak NATO di Brussels, Belgia, Senin (14/6).
Macron melakukan pertemuan tatap muka pertamanya dengan Erdogan dalam lebih dari setahun. Hubungan kedua negara sempat dibekap ketegangan, terutama karena konflik di Libya.
Turki mengerahkan pasukan ke Libya di bawah kesepakatan kerja sama militer yang ditandatangani dengan Government of National Accord (GNA), yakni pemerintahan Libya yang diakui PBB. Ankara pun mengirim ribuan pejuang Suriah ke negara tersebut.
Sejak Muammar Qadafi digulingkan pada 2011, Libya terbelit krisis politik. Pemerintahan di negara itu terpecah dua. Pertama adalah GNA yang berbasis di Tripoli. Kedua yakni Libyan National Army (LNA) yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar.
LNA telah melancarkan serangan ke basis GNA di Tripoli dan merebut beberapa daerah. Namun GNA, berkat bantuan Turki, berhasil memukul mundur pasukan LNA dan merebut kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai. Mereka bahkan berhasil menguasai Tarhuna, benteng terakhir LNA di Libya barat.
Mesir selaku pendukung LNA sempat menyerukan gencatan senjata. Khalifa Haftar yang posisinya tengah terdesak segera menyetujuinya. Namun Turki dan GNA menolak seruan tersebut. Mereka menilai seruan itu hanya taktik setelah LNA mengalami kekalahan telak dalam pertempuran.