REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Human Right Watch (HRW) mengatakan PBB telah mengumpulkan data lebih dari 800 ribu pengungsi Rohingya dan memberikannya kepada Bangladesh. Kemudian Bangladesh menyerahkan data tersebut kepada Myanmar untuk proses pemulangan pengungsi Rohingya.
Selama tiga tahun terakhir badan pengungsi PBB, UNHCR, telah mendata ratusan ribu pengungsi Rohingya di kamp pengungsian Bangladesh. Pendataan ini memungkinkan Bangladesh memberikan kartu identitas yang diperlukan untuk mengakses bantuan dan layanan penting lainnya. Namun menurut laporan terbaru HRW, para pengungsi tidak mengetahui bahwa pemerintah Bangladesh memberikan data mereka kepada pihak berwenang di Myanmar untuk proses pemulangan.
“Praktik pengumpulan data badan pengungsi PBB dengan Rohingya di Bangladesh bertentangan dengan kebijakan badan itu sendiri dan membuat pengungsi menghadapi risiko lebih lanjut,” ujar Direktur Krisis dan Konflik HRW, Lama Fakih, dilansir Aljazirah pada Rabu (16/6).
HRW mengatakan para pengungsi tidak mengetahui bahwa data yang dikumpulkan, termasuk foto, sidik jari, dan data biografi, dapat dibagikan ke Myanmar. HRW menyebut UNHCR tidak meminta izin kepada para pengungsi bahwa data mereka akan digunakan untuk proses pemulangan ke Myanmar.
HRW mewawancarai 24 pengungsi Rohingya antara September 2020 dan Maret 2021 tentang pengalaman mereka mendaftar ke UNHCR di Cox's Bazar. Dalam wawancara tersebut, para pengungsi tidak pernah diberitahu bahwa data tersebut akan digunakan untuk hal lainnya selain akses bantuan.
Setelah mendaftar, para pengungsi Rohingya diberikan sebuah tanda terima. Dalam kertas tanda terima itu ada sebuah kolom yang harus dicentang, yang menyatakan bahwa mereka telah menyetujui bahwa data mereka akan dibagikan ke Myanmar. Namun tanda terima itu ditulis dalam bahasa Inggris dan hanya segelintir pengungsi Rohingya yang dapat berbahasa Inggris.
“Apa yang menjadi sangat jelas bagi kami adalah bahwa Rohingya yang kami ajak bicara tidak dimintai persetujuan,” kata peneliti senior HRW Belkis Wille.
Wille mendesak UNHCR untuk melakukan penyelidikan dan melihat dengan hati-hati mengapa ada keputusan tersebut. Wille mengakui sulit untuk menggeneralisasi suatu riset berdasarkan ukuran sampel yang kecil. Namun dia merujuk pada laporan bahwa Bangladesh telah mengirimkan data 830 ribu pengungsi Rohingya ke Myanmar.
“Sulit membayangkan bahwa setiap orang akan setuju,” ujar Wille.
UNHCR bersikeras stafnya meminta izin kepada pengungsi Rohingya untuk membagikan data mereka kepada Myanmar. Data mereka akan digunakan untuk penilaian kelayakan dalam proses pemulangan.
Staf UNHCR juga menjelaskan Kartu Pintar yang digunakan untuk mendapatkan akses bantuan akan tetap diberikan kepada para pengungsi Rohingya, terlepas dari apakah mereka setuju atau tidak setuju untuk memberikan data. "Kami memiliki kebijakan yang jelas untuk memastikan pengamanan data yang kami kumpulkan saat mendaftarkan pengungsi di seluruh dunia," ujar juru bicara UNHCR Andrej Mahecic.
Myanmar telah menggunakan data yang diberikan oleh UNHCR untuk pemulangan sekitar 42 ribu pengungsi Rohingya. Dari jumlah tersebut 21 di antaranya adalah pengungsi yang diwawancarai oleh HRW.
Para pengungsi itu mengatakan mereka baru mengetahui bahwa data mereka telah dibagikan ke Myanmar. UNHCR menekankan setiap pengembalian ke Myanmar berdasarkan pilihan pengungsi secara individu dan sukarela.
“Tetapi mereka ada dalam daftar dan sekarang pihak berwenang Myanmar tahu bahwa mereka duduk di Bangladesh, jadi jika situasinya berubah, risiko itu terbuka secara efektif," ujar Wille.