Rabu 16 Jun 2021 14:18 WIB

Hilton akan Bangun Hotel di Lahan Masjid di Xinjiang

Pejabat China akan menghancurkan sebuah masjid untuk keperluan pembangunan hotel

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
Sejumlah jurnalis asing memotret gedung perkantoran terpadu milik Pemerintah Kota Turban, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Jumat (23/4/2021). Pemerintah China membantah klaim asing berdasarkan citra satelit yang menyebutkan  bahwa gedung tersebut merupakan penjara bagi warga dari kelompok etnis minoritas Muslim Uighur.
Foto: ANTARA/M. Irfan Ilmie
Sejumlah jurnalis asing memotret gedung perkantoran terpadu milik Pemerintah Kota Turban, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Jumat (23/4/2021). Pemerintah China membantah klaim asing berdasarkan citra satelit yang menyebutkan bahwa gedung tersebut merupakan penjara bagi warga dari kelompok etnis minoritas Muslim Uighur.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) mendesak Hilton Worldwide Holdings untuk membatalkan rencana pembangunan sebuah hotel di wilayah Xinjiang, China. Rencananya, para pejabat China akan menghancurkan sebuah masjid untuk keperluan pembangunan hotel tersebut.

“Gagasan bahwa sebuah perusahaan akan melakukan bisnis di tempat yang sedang terjadi genosida sangat tidak dapat dipercaya,” ujar Wakil Direktur Nasional CAIR Edward Ahmed Mitchell dilansir Aljazirah, Rabu (16/6).

Baca Juga

"Hilton dapat membangun hotel dan terlibat dalam genosida atau dapat membatalkan hotel dan membantu menghentikan genosida,” kata Mitchell menambahkan.

Surat kabar Inggris The Telegraph pada Ahad (13/6) melaporkan China berencana untuk membangun pusat komersial baru yang mencakup hotel Hilton di atas tanah masjid. Hingga berita ini diturunkan, Hilton Worldwide Holdings yang berbasis di Virginia tidak menanggapi permintaan komentar.

CAIR, yang merupakan organisasi advokasi dan hak-hak sipil Muslim terbesar di AS, memuji sikap Biden yang lebih keras terhadap pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Xinjiang China.

Pemerintahan Biden juga mengangkat masalah hak asasi manusia di China dalam KTT Kelompok Tujuh (G7) pekan lalu di Inggris. Mitchell mengatakan bisnis juga memiliki peran penting dalam mengambil sikap.

“China adalah negara adidaya  dan tidak ada yang akan berperang karena hak asasi manusia,” kata Mitchell.  

“Satu-satunya orang yang dapat melakukan sesuatu tentang ini adalah Amerika Serikat dan perusahaan besar. Korporasi memiliki peran besar untuk dimainkan dalam menghentikan genosida ini," terang Mitchell.

Pada April lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengutuk China atas tindakan genosida terhadap Muslim Uighur dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Dia juga mendesak perusahaan-perusahaan AS untuk menolak melakukan bisnis di wilayah tersebut.

“Hilton berbasis di Amerika Serikat, tetapi tampaknya mengabaikan pengakuan resmi pemerintah AS terhadap China yang melakukan genosida terhadap Muslim Uighur dan minoritas Turki lainnya,” ujar Direktur Urusan Pemerintah CAIR, Robert S McCaw.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement