REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Aktivis mendesak perusahaan menghentikan transaksi bisnis dan aliran uang ke militer Myanmar, sebagai salah satu langkah mencapai perdamaian di negara tersebut pasca-kudeta militer.
Pendiri dan Ketua The Advisory Board Progressive Voice, Khin Ohmar mengungkapkan setidaknya terdapat perusahaan asal Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia yang masih berbisnis dengan militer Myanmar setelah kudeta.
“Kami menyerukan kepada anggota ASEAN untuk mematuhi kewajiban internasional mereka di bawah UN Guiding Principles on Business and Human Rights dan menghentikan aliran keuangan ke junta,” kata Khin dalam diskusi daring, Kamis.
Aktivis asal Myanmar tersebut juga meminta ASEAN mendorong Dewan Keamanan PBB menerapkan embargo senjata terhadap Myanmar. Menurut Khin, ASEAN perlu mulai melakukan langkah konkret untuk mendapatkan kembali kepercayaan rakyat Myanmar.
Hal senada disampaikan advokat HAM Indonesia sekaligus Ketua Misi Pencari Fakta International Independen Dewan HAM PBB di Myanmar, Marzuki Darusman. Marzuki menilai komunitas internasional perlu menerapkan embargo senjata, yang diyakininya akan memberikan pukulan telak kepada junta Myanmar.
Marzuki juga mendorong komunitas internasional menandai sejumlah perusahaan yang masih melakukan bisnis dengan junta Myanmar setelah kudeta militer. Selain itu, Marzuki menyarankan ASEAN mengakui National Unity Government (NUG) guna menciptakan level yang setara dalam proses dialog dengan pihak terkait lain nantinya.
Adapun NUG dibentuk oleh para penentang kudeta militer 1 Februari lalu, termasuk anggota parlemen yang digulingkan hingga etnis minoritas. “Negara-negara anggota (ASEAN) harus memimpin dalam percobaan membuka ruang dialog di Myanmar, yang artinya mengakui NUG adalah jalan ke depan,” ucap Marzuki dalam acara yang sama.
Myanmar diguncang kudeta militer pada 1 Februari dengan menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Militer berdalih pemilu yang mengantarkan Suu Kyi terpilih dengan suara terbanyak penuh kecurangan. Hingga 16 Juni 2021, Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) melaporkan pasukan junta telah menewaskan 865 orang sejak kudeta militer.