REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Israel akan membatasi penggrebekan malam yang kontroversial di rumah-rumah warga Palestina. Alat intelijen baru akan memungkinkan Israel memperoleh informasi tentang warga Palestina yang tidak dicurigai melakukan pelanggaran, tanpa perlu memasuki rumah mereka.
Dilansir di Middle East Monitor, militer Israel mengatakan mereka berencana untuk membatasi jumlah penggebrekan malam ke rumah-rumah. Penggrebekan malam ini selama beberapa dekade telah menjadi penyebab ketakutan, trauma, dan terkadang kematian warga Palestina yang hidup di bawah pendudukan militer brutal.
Serangan tersebut mengharuskan tentara membangunkan keluarga di tengah malam. Keluarga yang didatangi militer akan didokumentasikan terkait penghuni rumah di wilayah tersebut. Para tentara menyebutnya sebagai pemetaan intelijen.
Israel mengklaim, penggrebekan seperti itu penting untuk tujuan intelijen. Namun, kelompok hak asasi mengecam praktik tersebut, dan bersikeras bahwa tujuan penggrebekan untuk menindas dan mengintimidasi penduduk Palestina dan meningkatkan kontrol negara.
Sebuah dokumentasi yang dibuat oleh A Life Exposed, kerjasama Yesh Din, Dokter untuk Hak Asasi Manusia Israel (PHRI), dan Breaking the Silence pada tahun 2018 mencatat mengenai serangan itu. Dokumentasi tersebut menyimpulkan bahaya yang disebabkan oleh invasi tersebut sangat parah.
"Karena merampas keyakinan mendasar individu, keluarga, dan komunitas, bahwa rumah mereka adalah istana mereka," dikutip dari salah satu kesimpulan dalam dokumentasi tersebut.
Tidak jelas mengapa otoritas memutuskan untuk membatasi praktik invasi itu. Menurut laporan Israel, keputusan tersebut dibuat setelah penilaian keamanan dan peningkatan teknik pengumpulan intelijen. Kebijakan invasi akan tetap dilakukan setelah mendapat izin dari rantai komando yang lebih senior dan jika ada kebutuhan operasional tertentu.
Menanggapi pembatasan ini, Direktur Eksekutif Yesh Din, Lior Amihai menilai keputusan itu sangat signifikan. "Invasi rumah melekat pada rezim apartheid di Tepi Barat dan kami akan terus mengekspos dan menantang praktik ini dan lainnya sampai semua hak asasi manusia dihormati," kata Amihai.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Breaking the Silence, Avner Gvaryahu menilai keputusan ini tidak akan mengakhiri penderitaan warga Palestina. "Pada dasarnya, ini tidak akan mengakhiri pendudukan atau membahayakan warga Palestina," kata dia.