REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW — Kementerian Luar Negeri Myanmar menolak resolusi Majelis Umum PBB yang menyerukan embargo senjata dan perebutan kekuasaan oleh militer pada Februari lalu. Menurut Myanmar, resolusi itu tidak mengikat secara hukum dan hanya berdasarkan tuduhan sepihak serta asumsi salah.
Dalam pernyataanya, Kementerian Luar Negeri menyebut, pihaknya menganggap Kyaw Moe Tun telah diberhentikan dari posisinya dan mencatat bahwa dia telah didakwa dengan pengkhianatan di Myanmar.
“Oleh karena itu, pernyataan, partisipasi dan tindakannya tidak sah dan tidak dapat diterima dan Myanmar sangat menolak partisipasi dan pernyataannya,” katanya mereka dalam pernyataanya dikutip Outlook India, Ahad (20/6).
Lebih lanjut, Kementerian juga menyatakan, pihaknya kerap menerima saran konstruktif dari komunitas internasional dalam mengatasi tantangan yang dihadapi Myanmar. Namun, setiap upaya yang melanggar kedaulatan negara dan campur tangan dalam urusan internal Myanmar, ditegaskannya tidak akan diterima.
Terlepas dari bantahan Myanmar, Dewan Keamanan PBB yang memiliki otoritas, dan resolusinya mengikat secara hukum, telah mengadopsi beberapa pernyataan di Myanmar, termasuk mengutuk penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai. Bahkan, juga menyerukan militer untuk memulihkan transisi demokrasi serta berlatih menahan diri sepenuhnya dari kekerasan.
Kendati demikian, DK PBB tidak pernah bisa mengutuk kudeta atau mengesahkan embargo senjata atau sanksi lainnya. Hal itu mengingat, veto dari China dan kemungkinan juga Rusia sudah pasti menentangnya.
Terlepas dari semua itu, resolusi tersebut mencerminkan konsensus internasional luas dan mengutuk pengambilalihan yang menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Langkah DK PBB itu diwarnai 119 negara yang memvoting ‘setuju’, selain dari 36 lainnya yang ‘abstain’ atau memilih untuk tidak bersuara, dan beberapa pemasok senjata ke Myanmar yang menolaknya.