REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Algoritma rekomendasi Facebook memperkuat propaganda militer dan materi lain yang melanggar kebijakan perusahaan itu sendiri di Myanmar. Temuan itu dilaporkan oleh kelompok hak asasi Global Witness.
Sebulan setelah militer merebut kekuasaan di Myanmar dan memenjarakan para pemimpin terpilih, algoritma Facebook masih mendorong pengguna untuk melihat dan menyukai halaman pro-militer. Unggahan akun tersebut menghasut dan mengancam kekerasan, mendorong informasi yang salah yang dapat menyebabkan kerusakan fisik, memuji militer dan memuliakan pelanggarannya.
Menurut platform manajemen media sosial NapoleonCat, Myanmar memiliki lebih dari 22,3 juta pengguna Facebook pada Januari 2020, lebih dari 40 persen dari populasinya. "Apa yang terjadi di Facebook penting di mana-mana, tetapi di Myanmar itu menjadi dua kali lipat,” kata laporan Global Witness yang diterbitkan Selasa (22/6) malam.
Raksasa media sosial itu telah berjanji untuk menghapus konten semacam itu setelah kudeta pada 1 Februari. Perusahaan pun mengumumkan akan menghapus halaman yang dikendalikan militer Myanmar dari situsnya dan dari Instagram.
Facebook mengatakan pada Selasa (22/6), bahwa timnya terus memantau situasi di Myanmar secara langsung. "Mengambil tindakan pada setiap posting, Halaman, atau Grup yang melanggar aturan kami," ujar perusahan tersebut.
Beberapa hari setelah kudeta 1 Februari, militer untuk sementara memblokir akses ke Facebook karena digunakan untuk berbagi komentar anti-kudeta dan mengorganisir protes. Akses kemudian dipulihkan.
Dalam minggu-minggu berikutnya, Facebook terus memperketat kebijakannya terhadap militer. Perusahan itu melarang semua entitas militer dari platformnya dan mengatakan akan menghapus pujian atau dukungan untuk kekerasan terhadap warga dan penangkapan mereka.