Jumat 02 Jul 2021 18:00 WIB

Laporan AS: Malaysia Paling Dominan Melakukan Kerja Paksa

AS menurunkan peringkat Malaysia ke tingkat terburuk dalam perdagangan manusia

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Bendera Malaysia (ilustrasi)
Foto: Reuters
Bendera Malaysia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengatakan, tindak perdagangan manusia yang paling mendominasi di Malaysia adalah kerja paksa. Pada Jumat (2/7) Departemen Luar Negeri AS menurunkan peringkat Malaysia ke tingkat terburuk dalam laporan tahunan tentang perdagangan manusia.

Malaysia turun ke 'Tingkat 3' dalam laporan Trafficking in Persons (TIP) yang diawasi ketat tahun ini. Laporan tersebut mengatakan, Malaysia melakukan kejahatan perdagangan manusia dan penyelundupan migran. Malaysia tidak menangani persoalan tersebut secara memadai.

Baca Juga

Dalam telekonferensi dengan wartawan, Penjabat Direktur kantor perdagangan Departemen Luar Negeri Kari Johnstone mengatakan, sebagian besar korban perdagangan di Malaysia adalah pekerja migran. Diperkirakan ada 2 juta pekerja migran yang memiliki dokumen legal, sementara lebih banyak lagi yang tidak berdokumen.

“Sektor-sektor yang paling sering kita lihat adalah kerja paksa, yang merupakan bentuk utama kejahatan di Malaysia, termasuk di perkebunan kelapa sawit dan pertanian, di lokasi konstruksi, di industri elektronik, garmen dan produk karet,” kata Johnstone.

Penurunan peringkat terjadi setelah ada laporan oleh kelompok hak asasi dan otoritas AS, atas dugaan eksploitasi pekerja migran di perkebunan dan pabrik. Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Luar Negeri Malaysia belum memberikan komentar.

Di sisi lain, peringkat Thailand diturunkan menjadi 'Daftar Pantau Tingkat 2' karena tingginya jumlah korban perdagangan manusia yang menjadi sasaran kerja paksa di industri perikanan dan pertanian. "Korban perdagangan orang juga menjadi sasaran perdagangan seks di rumah bordil, panti pijat, bar, ruang karaoke, hotel dan tempat tinggal pribadi," kata Johnstone.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement