REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Kegagalan berulang pasukan Israel menggempur kelompok Hamas, membuat Israel perlu menduduki Jalur Gaza dan menggulingkan Gerakan Perlawanan Islam Palestina. Hal ini dilaporkan oleh kantor berita Sama dalam sebuah artikel yang ditulis oleh pakar keamanan di Institut Strategi dan Keamanan Yerusalem, Omer Dostri.
"Israel memiliki hak untuk mengadopsi pendekatan bertahap dalam menghadapi berbagai ancaman yang dihadapinya," ujar Dostri, dilansir Middle East Monitor, Ahad (4/7).
Dalam makalahnya, Dostri menyatakan bahwa Israel harus menangani setiap ancaman secara terpisah, dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Israel harus fokus pada ancaman paling serius yang dihadapinya, yaitu program nuklir Iran
Dostri percaya pendekatan ini awalnya membutuhkan kebijakan untuk menghalangi Hamas, dengan tujuan menggulingkan kekuasaannya. Ancaman yang ditimbulkan oleh Jalur Gaza adalah kepentingan sekunder, dibandingkan dengan ancaman lain seperti front Lebanon dan Iran.
Tetapi menurut Dostri, persenjataan Hamas terus berlanjut, dan kegagalan Israel untuk mencegahnya selama bertahun-tahun, meningkatkan ancaman dari waktu ke waktu. Ancaman itu mungkin berkembang menjadi ancaman yang sama pentingnya dengan front Lebanon. Dostri mengklaim bahwa Israel terlibat dalam perang multi-pertempuran.
Dostri mengatakan, Israel diharapkan untuk berperang di tiga front utama yaitu Lebanon, Dataran Tinggi Golan dan Gaza. Sementara serangan udara yang dilakukan oleh rudal jarak jauh atau alat peledak dari Irak dan Yaman menyediakan lahan subur untuk pangkalan militer Iran, melalui milisi Irak dan Houthi di Yaman
"Dalam situasi seperti itu, Hamas mungkin menjadi pengganda kekuatan bagi upaya Iran untuk menyakiti Israel," ujar Dostri.
Setelah menggulingkan Hamas, Dostri mendesak bahwa Israel harus memperkuat pencegahannya terhadap Hizbullah di Lebanon kemudian fokus secara eksklusif pada ancaman program nuklir militer Iran. Untuk mengurangi ancaman terhadapnya, Dostri menjelaskan, Israel pertama-tama harus melenyapkan Hamas.
"Karena dalam beberapa dekade terakhir, ia telah menjadi kekuatan pemerintah penting yang bertanggung jawab atas Jalur Gaza dan penduduknya, membuatnya rentan terhadap pencegahan karena ketakutannya terhadap kehilangan kendali," kata Dostri.
Dostri berpendapat bahwa Hamas masih berpegang teguh pada ideologi Islam radikal. Dostri menyatakan bahwa, Israel harus menanggapi serangan Hamas dengan melakukan serangan intensitas tinggi, dan jumlah serangan yang jauh lebih besar terhadap peluncuran roket dari Gaza.
"Israel harus menerapkan kebijakan ini untuk menerbangkan balon pembakar dan peluncur peledak, atau mengirim aktivis untuk melakukan tindakan kekerasan di dekat pagar," kata Dostri.
Dostri menyimpulkan bahwa Israel harus bergerak ke arah srategi yang lebih mencegah, dengan mulai menerapkan strategi pertempuran antara perang di Gaza. Laporan hak asasi manusia menyatakan, 91 persen anak-anak Gaza menderita trauma psikologis setelah agresi Israel.