REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Pakistan menolak laporan pengawas media internasional yang memasukkan Perdana Menteri Imran Khan ke dalam daftar 37 penguasa terburuk di dunia, dalam hal kebebasan pers. Reaksi tersebut merupakan tanggapan atas laporan berjudul “Press freedom predators gallery – old tyrants, two women and a European", yang dirilis oleh Reporters Without Borders (RSF) yang berbasis di Paris.
Menurut RSF banyak penyensoran yang terjadi sejak Khan menjadi perdana menteri. Laporan itu mengatakan, selama pemerintahan Khan, distribusi surat kabar terganggu, outlet media diancam dengan penarikan iklan dan sinyal saluran TV yang macet.
“Wartawan yang melewati garis merah telah diancam, diculik, dan disiksa,” kata pengawas media, dilansir Aljazirah, Kamis (8/7).
Kementerian Informasi Pakistan, dalam sebuah pernyataan pada Selasa (6/7) menolak tuduhan itu. Mereka mengatakan, pemerintah Khan percaya pada kebebasan berekspresi dan independensi media.
Dalam pernyataanya, kementerian mengatakan, sangat mengejutkan bahwa RSF telah membuat kesimpulan bahwa media di Pakistan berada di bawah tindakan sensor kejam oleh pemerintah Khan. Pemerintah telah mengambil semua langkah, untuk menciptakan lingkungan yang menyenangkan bagi jurnalis dalam melakukan kewajiban profesional mereka.
“Tampaknya laporan yang dikeluarkan (Reporters Without Borders) adalah upaya untuk memfitnah wakil rakyat Pakistan yang terpilih, tanpa bukti yang menguatkan," ujar Kementerian Informasi Pakistan.
Namun para kritikus mengatakan, Pakistan telah lama menjadi tempat yang mematikan bagi jurnalis. Pada 2020, Pakistan menempati peringkat kesembilan dalam Indeks Impunitas Global tahunan dari Komite untuk Melindungi Jurnalis. Indeks ini menilai negara-negara yang memiliki kasus pembunuhan jurnalis, dan pelaku pembunuhan atas jurnalis telah dibebaskan. Meskipun Pakistan mengatakan mendukung kebebasan berbicara, para aktivis hak asasi sering menuduh militer Pakistan dan agen-agennya melecehkan dan menyerang wartawan.