Selasa 13 Jul 2021 22:37 WIB

Ketidakpercayaan pada Junta Perburuk Krisis Covid-19 Myanmar

Myanmar terancam kekurangan tenaga medis akibat pemberontakan

Myanmar terancam kekurangan tenaga medis akibat pemberontakanDemonstran berbaris di jalan selama protes di Yangon, Myanmar 1 Juli 2021,
Foto:

Ibarat angkat katak

Gelombang Covid-19 terbaru merangkak naik di negara berpenduduk 53 juta jiwa itu, menyusul kudeta terhadap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi. Protes yang dilancarkan kepada junta, aksi mogok, dan kekerasan mengganggu ketersediaan layanan kesehatan.

Pada Senin, angka resmi kematian akibat Covid-19 mencapai 89, rekor keenam dalam tujuh hari terakhir. Kasus harian menembus angka 5.000 untuk pertama kali, lebih dua kali lipat angka tertinggi tahun lalu.

Lebih dari sepertiga tes Covid-19 menunjukkan hasil positif, sebuah angka yang menurut para dokter mengindikasikan bahwa wabah lebih jauh menyebar daripada yang ditunjukkan data resmi.

"Meningkatnya kasus Covid-19 di Myanmar saat ini benar-benar mengkhawatirkan," kata Joy Singhal, Ketua Delegasi Myanmar pada Federasi Palang Merah Internasional dan Masyarakat Sabit Merah.

"Sangat tingginya tingkat positivitas kasus dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan infeksi yang jauh lebih menyebar. Ini akan menjadi kritis dengan cepat saat banyak orang memiliki keterbatasan akses ke rumah sakit dan layanan kesehatan," katanya kepada Reuters dari Myanmar.

Dengan banyaknya staf medis yang bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil, kemampuan merawat pasien pun menjadi terbatas. Hanya 40 dari 400 tenaga kesehatan yang tetap bertugas di Rumah Sakit Umum Yangon Barat di kota terbesar Myanmar, Yangon, kata dokter di sana.

Di rumah sakit Yangon lainnya, seorang dokter berusia 35 tahun menggambarkan tantangannya menangani krisis kesehatan dengan sumberdaya terbatas. "Seperti mengangkat katak dengan kantong sobek," katanya kepada Reuters, sambil meminta agar namanya tidak disebut karena malu dengan pendukung gerakan pembangkangan. Dia kembali bekerja karena tekanan keluarga.

Beberapa dokter pengikut gerakan secara diam-diam memberi konsultasi via telepon kepada pasien Covid-19. Berada di baris depan aksi protes terhadap junta, paramedis juga telah menjadi target.

WHO mencatat ada 240 serangan terhadap tenaga kesehatan, ambulans, klinik, dan rumah sakit di Myanmar sejak kudeta, nyaris setengah dari jumlah serangan serupa yang terjadi di seluruh dunia.

Junta telah mendesak petugas RS untuk kembali bekerja, namun sebagian dari mereka takut ditangkap. Mereka juga takut dikucilkan kolega mereka. Sejak kudeta, sekitar 70 petugas kesehatan bergabung dengan lebih dari 5.000 orang di tahanan, menurut data kelompok aktivis Asosiasi Bantuan Tahanan Politik.  

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement