Sabtu 17 Jul 2021 05:14 WIB

Bantuan Vaksin, Asia Tenggara Bukan Prioritas Uni Eropa

Bantuan Vaksin untuk Asia Tenggara Dinilai Bukan Prioritas Uni Eropa

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Bantuan Vaksin Uni Eropa
Bantuan Vaksin Uni Eropa

Upaya vaksin internasional Uni Eropa tampaknya tertinggal dibanding negara lainnya, di tengah upaya Amerika Serikat (AS) meningkatkan program donasi vaksin di Asia Tenggara.

Presiden AS Joe Biden berjanji pada Mei lalu untuk menyumbangkan 80 juta vaksin ke seluruh negara, di mana sekitar 75% di antaranya akan dibagikan melalui program COVAX - yang bertujuan untuk menyediakan vaksin gratis ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara 25% lainnya akan disumbangkan langsung oleh AS dan "ditargetkan untuk membantu mengatasi lonjakan kasus di seluruh dunia," kata Gedung Putih.

Adapun 30 negara yang terdaftar oleh Gedung Putih untuk menerima sumbangan langsung sebagian besar adalah negara-negara yang bersahabat dengan AS. Di Asia Tenggara, negara-negara itu mencakup Filipina, Vietnam, dan Indonesia.

Pada 10 Juli, Vietnam menerima tahap pertama dari dua juta vaksin yang dijanjikan oleh AS, yang dikirimkan melalui program COVAX.

Peran Uni Eropa dalam program COVAX

Sementara itu, Uni Eropa telah menyiapkan sekitar €3 miliar (Rp51,3 triliun) untuk bergabung dalam program COVAX, menurut Jutta Urpilainen, Komisaris Eropa untuk Kemitraan Internasional.

Sumber-sumber komisi mengatakan bahwa negara-negara anggota UE telah menjanjikan 11 juta dosis untuk sumbangan internasional, di mana sekitar 9 juta akan dikirim melalui COVAX.

"Uni Eropa menganggap bahwa vaksinasi bukanlah perlombaan melawan negara, tetapi perlombaan melawan waktu," kata Peter Stano, juru bicara utama Komisi Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan.

"Kami percaya bahwa bantuan tidak boleh dipolitisasi dan vaksin tidak boleh digunakan sebagai alat tawar-menawar untuk keuntungan politik," tambah Stano.

Kebingungan atas kontribusi Uni Eropa

Negara-negara anggota UE, yang tergabung dalam "Tim Eropa" adalah salah satu donor keuangan terbesar untuk fasilitas COVAX. Namun, bantuan UE dalam program vaksinasi Asia Tenggara sering kali tidak mendapat perhatian karena disumbangkan melalui fasilitas COVAX.

Seorang pejabat pemerintah Malaysia yang mengetahui program vaksinasi nasional dan tidak mau disebutkan namanya, mengatakan seluruh proses itu membingungkan.

"Apakah kami meminta vaksin kepada pejabat atau diplomat UE dari negara-negara anggota UE? Apakah kami berterima kasih kepada UE atas vaksin yang disumbangkan COVAX atau negara-negara Eropa?" dia bertanya.

Asia bukan 'prioritas' vaksin untuk UE

Pada akhir Juni lalu, Cina telah menyumbangkan atau menjual sekitar 120 juta vaksin ke negara-negara Asia Tenggara, diperkirakan jumlah itu 4,8 kali lebih banyak dari yang disumbangkan COVAX.

Kamboja yang sekarang memiliki tingkat vaksinasi tertinggi kedua di ASEAN dan salah satu yang tertinggi di dunia, dengan 23% populasinya telah divaksinasi penuh, hampir sepenuhnya bergantung pada vaksin buatan Cina.

Le Hong Hiep, seorang rekan senior di Program Studi Vietnam ISEAS–Yusof Ishak Singapura, mengatakan bahwa UE "mungkin memprioritaskan Afrika daripada Asia dalam diplomasi vaksinnya."

Hiep mengatakan "ikatan sejarah" dan "fakta bahwa Afrika tertinggal di belakang daerah lain dalam akses vaksin" adalah faktor pendorong utama.

Pada akhir April lalu, Prancis berjanji untuk menyumbangkan 30 juta vaksin secara internasional pada akhir tahun 2021. Tahap pertama sekitar 100.000 tiba di Mauritania melalui fasilitas COVAX, menjadikan Prancis negara pertama di dunia yang secara langsung menyumbangkan sebagian dari pasokan domestiknya sendiri.

Pada akhir Juni, Denmark menyumbangkan 350.000 vaksin ke Kenya.

Apakah UE dipengaruhi oleh geopolitik?

Pada awal Juli, Jerman mengumumkan bahwa semua vaksin AstraZeneca yang tersisa akan disumbangkan setelah Agustus 2021, dilaporkan 80% akan diberikan ke fasilitas COVAX dan sisanya akan disumbangkan langsung oleh Berlin ke Balkan Barat dan non-UE Eropa Timur negara bagian, serta Namibia, bekas jajahan Jerman.

Janji Jerman untuk menyumbangkan vaksin ke Balkan Barat—wilayah yang telah siap menerima vaksin Cina dan Rusia—telah dipandang oleh para kritikus sebagai langkah geopolitik.

Sementara Spanyol akan mengirim vaksinnya ke negara-negara Amerika Latin, yang juga merupakan wilayah bekas jajahan.

Menteri Luar Negeri Gabrielius Landsbergis berkomentar pada saat itu bahwa "orang-orang yang mencintai kebebasan harus saling menjaga," sebuah pernyataan yang dianggap sebagai hinaan terhadap pemerintah komunis Cina.

"Anggota UE juga akan mempertimbangkan perhitungan geostrategi mereka dan kemungkinan akan mendukung negara-negara yang memiliki andil bagi kepentingan Eropa. Oleh karena itu, Vietnam akan memiliki peluang bagus untuk mendapatkan beberapa vaksin yang disumbangkan oleh UE," kata Hiep.

Staf di Delegasi Uni Eropa untuk blok ASEAN menolak berkomentar tentang masalah ini.

(ha/hp)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement