REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Para pejabat Amerika Serikat (AS) mengumumkan pada Kamis (22/7), AS diperkirakan akan meresmikan akhir misi tempur di Irak pada akhir tahun ini. Kemudian mereka melanjutkan dengan pelatihan dan pemberian pendampingan kepada pasukan Irak.
Saat ini ada 2.500 tentara AS di Irak yang fokus melawan sisa-sisa Daesh/ISIS. Langkah itu diperkirakan tidak akan berdampak besar karena AS telah bergerak pada pelatihan pasukan Irak.
Namun, pengumuman yang akan diumumkan setelah Presiden Joe Biden bertemu dengan mitranya dari Irak di Washington pekan depan, menyebabkan situasi sulit secara politik bagi pemerintah Irak.
“Poin kunci dan saya pikir sangat penting adalah pemerintahan Biden ingin tinggal di Irak karena pemerintah Irak telah mengundang kami dan meminta agar kami terus melakukannya,” kata seorang senior pertahanan pejabat yang enggan disebutkan namanya, dilansir Middle East Monitor (23/7).
“Misi tidak berubah. Bagaimana kami mendukung pasukan keamanan Irak dalam mengalahkan misi Daesh adalah apa yang sedang kami bicarakan,” tambahnya.
Pejabat itu mengatakan akan ada fokus pada logistik, pemeliharaan peralatan, dan membantu pasukan Irak lebih jauh untuk mengembangkan kemampuan intelijen dan pengawasan mereka.
Di dalam negeri, Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi menghadapi tekanan yang meningkat dari partai-partai dan kelompok paramiliter yang bersekutu dengan Iran. Mereka menganggapnya berpihak pada Amerika Serikat.