REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemimpin oposisi Malaysia Anwar Ibrahim menilai langkah Presiden Tunisia Kais Saied memecat perdana menteri dan membekukan parlemen sebagai serangan pada demokrasi.
Anwar yang juga merupakan Presiden Partai Keadilan Rakyat mengaku sangat prihatin dengan keputusan Presiden Tunisia tersebut. “Tindakan ini memadamkan akuntabilitas, merusak kepercayaan antara rakyat dan pemerintah, dan merupakan serangan terhadap demokrasi Tunisia,” kata Anwar dalam akun Facebooknya, Selasa.
Selama lebih dari satu dekade, Anwar mengungkapkan, rakyat Tunisia bekerja keras membangun masyarakat yang adil setelah berhasil lepas dari kediktatoran. Saat ini, ujar Anwar, rakyat Tunisia berhadapan dengan memburuknya situasi Covid-19 yang tidak ditangani secara efektif oleh pemerintah.
Menurut dia, tidak ada negara demokratis yang berusaha meningkatkan kualitas penanganan pandemi mereka dengan menangguhkan demokrasi. Berkurangnya demokrasi dalam penanganan pandemi Covid-19 malah akan membuatnya menjadi bencana, ujar Anwar.
Menurut Anwar, parlemen yang berisi wakil-wakil rakyat, merupakan institusi yang membela akuntabilitas dan melawan kebangkitan kediktatoran. Dengan demikian, mengesampingkan parlemen dengan alasan apapun berisiko merusak kemajuan yang telah dibangun serta berdampak pada penanganan pandemi.
“Parlemen adalah tempat untuk menantang kinerja pemerintah. Itulah sebabnya saya menambahkan suara saya kepada mereka yang menyerukan pemulihan segera parlemen dan supremasi hukum di Tunisia,” ungkap Anwar.
Presiden Tunisia memberhentikan pemerintahan Perdana Menteri Hichem Mechichi pada Minggu malam, membekukan parlemen, dan mengambil alih otoritas eksekutif dengan bantuan perdana menteri baru. Presiden juga mempersilakan tentara turun ke jalanan di ibu kota setelah berkonsultasi dengan Perdana Menteri Tunisia Hichem Mechichi dan Ketua Parlemen Rached Ghannouchi.
Namun, Ghannouchi mengatakan Saied hanya berkonsultasi dengannya tentang mengambil prosedur darurat tetapi tidak memberitahu dia tentang keputusannya tersebut. Ghannouchi pada Senin mengatakan bahwa parlemen masih aktif bertugas, dia mengulangi penolakannya terhadap keputusan Presiden Kais Saied untuk menangguhkan parlemen.
Dia juga menuduh media Uni Emirat Arab (UEA) berada di balik kudeta dan menargetkan gerakan Ennahda. Pendukung gerakan Ennahda - yang memegang 53 kursi di 217 anggota parlemen - mengecam keputusan Saied sebagai "kudeta" terhadap legitimasi dan revolusi.
Tunisia telah dicengkeram oleh krisis yang mendalam sejak 16 Januari, ketika Mechichi mengumumkan perombakan kabinet, tetapi Saied menolak untuk mengadakan upacara pelantikan menteri baru. Negara itu juga menghadapi krisis ekonomi dan lonjakan kasus Covid-19 di tengah kemungkinan kolapsnya sistem kesehatan negara.
Tunisia dipandang sebagai satu-satunya negara Arab yang berhasil melakukan transisi demokrasi di antara negara-negara lain yang juga mengalami revolusi rakyat yang menggulingkan rezim yang berkuasa, termasuk Mesir, Libya, dan Yaman.