REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Presiden Hassan Rouhani pada Ahad (1/8) meminta maaf kepada seluruh rakyat Iran atas kesulitan yang mereka alami selama delapan tahun pemerintahannya. Rouhani akan meninggalkan jabatannya setelah presiden terpilih Ebrahim Raisi dilantik pada 5 Agustus mendatang.
Berbicara dalam rapat kabinet terakhirnya, Rouhani mengakui bahwa pemerintahnya hanya membeberkan sebagian kebenaran kepada rakyat. Dia khawatir hal itu akan membahayakan persatuan nasional. Rouhani meminta maaf kepada warga Iran atas setiap kekurangan dalam pemerintahannya.
"Apa yang kami katakan kepada orang-orang tidak bertentangan dengan kenyataan, tetapi kami tidak memberi tahu mereka sebagian dari kebenaran," kata Rouhani, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Pemerintah reformis Rouhani akan menyelesaikan dua periode jabatan minggu ini. Sementara pemerintahan baru yang dipimpin oleh mantan kepala kehakiman dan konservatif tinggi Ebrahim Raisi akan dilantik pada pekan ini. Rouhani menuding beberapa faksi dalam salvo di parlemen yang dikendalikan Konservatif, karena mengganggu upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 (JCPOA).
“Menurut kerangka kerja yang ditetapkan oleh Pemimpin Tertinggi, kami dapat menerapkan JCPOA dan mencabut sanksi, tetapi kami terjebak di tempat lain,” kata Rouhani, dilansir Anadolu Agency, Senin (2/8).
Pemerintah Rouhani telah menghadapi kritik pedas atas penanganan pandemi Covid-19 dan kesalahan dalam mengurus ekonomi. Tepatnya, setelah AS keluar dari kesepakatan nuklir pada 2018 dan memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran.
"Kalau mau menghakimi pemerintah ini, kita harus mempertimbangkan ekonomi, Covid-19, dan kekeringan," kata Rouhani.
Raisi yang merupakan kepala peradilan ultra-konservatif, mengumpulkan 17,92 juta suara dalam pemilihan Jumat (18/6), dan mengalahkan tiga saingannya dengan kemenangan telak. Menurut Kementerian Dalam Negeri, jumlah pemilih adalah 48,8 persen atau terendah dalam sejarah Iran.
Raisi adalah seorang garis keras yang berada di bawah sanksi oleh Amerika Serikat (AS). Dia merupakan seorang kritikus keras negara-negara Barat. Dia berada di bawah sanksi AS karena dugaan keterlibatan dalam eksekusi tahanan politik beberapa dekade lalu.
"Jika terpilih, Raisi akan menjadi presiden Iran pertama yang dikenai sanksi sebelum dia menjabat, dan berpotensi dikenai sanksi saat menjabat," kata analis Jason Brodsky, dilansir al-Arabiya.
Brodsky mengatakan, fakta itu dapat mengkhawatirkan Washington dan Iran liberal, terlebih fokus tajam Presiden AS Joe Biden adalah hak asasi manusia secara global. Raisi adalah seorang tokoh tingkat menengah dalam hierarki ulama Muslim Syiah Iran. Raisii diangkat oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei sebagai kepala kehakiman pada 2019. Beberapa bulan kemudian, AS menjatuhkan sanksi kepada Raisi atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk eksekusi tahanan politik dan penindasan kerusuhan pada 2009.