REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Julukan Giant of Africa atau Raksasa Afrika telah lama disematkan pada Nigeria. Negara yang terletak di bagian barat Afrika itu memiliki jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi yang besar.
Pada 2015, Nigeria menempati posisi ke-20 sebagai negara dengan perkembangan ekonomi terbesar di dunia, menggeser posisi Afrika Selatan sebagai negara dengan perkembangan ekonomi terbesar se-Afrika pada 2014.
Namun, kondisi yang bisa dibilang makmur ini tak sepenuhnya membebaskan Nigeria dari bencana kelaparan.
Sejauh ini, krisis pangan di Nigeria juga menjadi perhatian Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dalam keterangan pers yang diterima, Senin (9/8), ACT pada 2017 melakukan penyaluran bantuan sebanyak 800 paket pangan yang diberikan kepada pengungsi di Kamp Fariya yang dihuni sekitar 3.600 KK atau 8.000 pengungsi internal.
Para pengungsi itu berasal dari lima kota lainnya di Borno, yakni Mafa, Dikwa, Kala Balge, Marte dan Bama. Sebanyak 800 paket pangan amanah masyarakat Indonesia rampung didistribusikan dalam waktu kurang dari setengah jam. Karena faktor keamanan, agenda pendistribusian bantuan di Maiduguri dilakukan tanpa memakan waktu lama.
Isu kelaparan telah menjadi persoalan yang hingga kini sulit diatasi. Dilansir dari Anadolu Agency, 4,4 juta orang di timur laut Nigeria kemungkinan besar akan menghadapi krisis pangan dan kelaparan parah. Hal ini karena meningkatnya konflik dan migrasi petani.
Wakil kepala Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) Nigeria, Esty Sutyoko, mengatakan masyarakat Nigeria kehilangan mata pencaharian selama lebih dari satu dekade. Hal ini dipicu kekerasan dan pandemi Covid-19 serta kerawanan pangan di wilayah tersebut.
Sementara sekitar tiga juta orang telah mengungsi di negara bagian timur laut Adamawa, Borno, dan Yobe. Mereka mengungsi akibat serangan yang terjadi sejak 2009.
"Salah satu cara untuk mengakhiri krisis ini adalah dengan mengembalikan orang-orang ke kampung halaman mereka, membuka lahan pertanian baru, dan mewujudkan ketahanan pangan," kata dia.