Senin 09 Aug 2021 22:58 WIB

Korea Selatan Gagal Mengurangi Maraknya Les Privat di Perkotaan

Industri les privat di Seoul terus berkembang walaupun sudah dilarang sejak 1980-an.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/AP Photo/Yonhap/K. Jun-Beom
picture-alliance/AP Photo/Yonhap/K. Jun-Beom

Untuk mengamati bagaimana pentingnya pendidikan bagi masyarakat Korea Selatan, seseorang hanya perlu pergi ke distrik Daechi-dong. Distrik di bagian tenggara kota Seoul ini adalah pusatnya ratusan lembaga les privat, tempat siswa memoles penguasaan matematika, bahasa Inggris dan sebagian besar mata pelajaran lainnya, di luar jam sekolah mereka. Sementara para siswa bersaing menggenjot prestasi, orang tua mereka menunggu dengan sabar di mobil di dekat temüpat les. Bahkan tak jarang bisa sampai jam 10 malam, di mana seharusnya sekolah harus tutup.

Selama beberapa dekade, Korea Selatan telah mencoba mengatur sektor les privat nirlaba ini, dan hasilnya beragam. Menurut Biro Statistik Korea Selatan, hampir tiga perempat anak sekolah mengambil kelas di tempat les privat swasta pada tahun 2019. Menurut OECD (Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi), pengeluaran rata-rata untuk pendidikan swasta alias les privat ini per anaknya di Korea Selatan, jauh lebih tinggi diibanding dengan di negara Asia lainnya.

Hagwon pertama didirikan oleh misionaris AS

Sekolah les privat ini disebut "hagwon" di Korea Selatan. Hagwon modern pertama didirikan pada tahun 1885 oleh misionaris Metodis AS Henry Appenzeller, yang fasih berbahasa Jerman dan Prancis serta Inggris. Ibunya orang Swiss dan ayahnya adalah anggota Gereja Reformasi Jerman di Pennsylvania.

Meskipun Appenzeller mendirikan SMA Paichai sebagai kedok untuk pekerjaan misionarisnya yang saat itu tidak diberi izin, namun masyarakat Korea Selatan saat itu mulai menggunakannya untuk belajar bahasa Inggris.

Satu abad kemudian, Presiden Chun Doo-hwan, penguasa otoriter terakhir sebelum pemilihan presiden langsung digelar tahun 1987 dan hak-hak sipil dipulihkan, menyatakan perang terhadap sektor les privat ini. Langkah resmi pertamanya sudah dimulai di tahun 1980, yaitu melarang semua pelajaran privat ekstrakurikuler. Gagasan di balik politiknya sebetulnya begus, yakni untuk memberikan akses pendidikan yang lebih adil bagi semua, dan tidak menjadi beban tambahan bagi orang tua.

Pada era 1980-an, sebagian besar penduduk menyambut baik tindakan itu, karena gagasan masyarakat egaliter tertanam kuat dalam sistem nilai moral Korea Selatan. Banyak menolak gagasan bahwa populasi yang lebih kaya dapat "membeli" pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak mereka berkat tutor yang mahal ini. Hal ini juga menjadi salah satu alasan diberlakukannya wajib seragam sekolah, yang dimaksudkan untuk menutupi adanya perbedaan kelas di masyarakat. Kritik muncul di sisi lain, karena merasa kebebasan dalam memberikan kesempatan hidup yang lebih baik bagi keturunan mereka sedang dibatasi.

Larangan itu berlangsung sekitar 10 tahun — sampai mahasiswa diberi izin untuk bekerja sebagai guru privat dan kemudian pemerintah memberikan izin kepada beberapa lembaga pendidikan. Namun menyelenggarakan les privat, masih dikategorikani pelanggaran hukum, sehingga sering terjadi penggerebekan pada tahun 1990-an dan denda besar bagi guru yang tertangkap. Bahkan ada yang sampai masuk penjara.

Tidak ada halangan bagi warga Korea Selatan dan pendidikan anak-anak mereka

Pada akhirnya, strategi pemerintah gagal total, karena orang kaya Korea Selatan terus mencari cara untuk menyiasati aturan. TK, seorang penulis blog asal Korea yang berbasis di AS, mencuitkan tautan, tidak ada yang akan dapat menghalangi masyarakat Korea Selatan dan pendidikan bagi anak-anak mereka. Dia mengatakan, undang-undang hanya berfungsi menaikkan biaya les privat saja, bahkan ayahnya sendiri pun yang berprofesi guru diuntungkan. Setelah pekerjaan sehari-harinya sebagai guru sekolah menengah selesai, ayahnya melanjutkan menjadi tutor secara ilegal dan mampu membeli apartemennya sendiri dengan tabungannya.

Pada tahun 1998, rektor Universitas Nasional Seoul, lembaga pendidikan paling bergengsi di negara itu, bahkan dipaksa mengundurkan diri, setelah terungkap bahwa ia telah menyelenggarakan les privat untuk anaknya.

Pada awal milenium baru, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mencabut semua pembatasan sekolah les privat ini setelah memutuskan bahwa regulasi melanggar hak penduduk untuk mendidik anak-anaknya.

Namun, ini tidak mengakhiri masalah. Aturannya tetap ketat dan masih melarang untuk membebani biaya yang berlebihan untuk les privat ini, meskipun tidak sepenuhnya jelas apa yang dimaksud dengan biaya yang berlebihan itu. Sekitar 10 tahun yang lalu, pemerintahan konservatif Presiden Lee Myung-bak menetapkan pmbatasan, sekolah swasta les privat ini tidak boleh buka setelah jam 10 malam, agar anak-anak mendapatkan waktu tidur yang cukup.

Presiden saat ini Moon Jae-in yang berhaluan kiri, juga telah mengobarkan perang terhadap sekolah-sekolah elit dan lembaga pendidikan swasta eksklusif. Perusahaan yang menarik biaya les lebih dari €700 (11,8 juta rupiah) per bulan per anak akan ditutup segera saat melanggar. Menurut OECD, rata-rata pendapatan bersih bersih per kapita di Korea Selatan setara dengan €18.500 (312,7 juta rupiah) per tahun.

Terlalu banyak tekanan pada anak-anak

Di tahun 2020, tercatat ada lebih dari 73.000 lembaga les privat di Korea Selatan dan sekitar setengahnya berada di ibu kota, di mana kampanye iklan mereka jadi bagian paling mencolok lanskap perkotaan. Les privat ini juga ikut bertanggung jawab terhadap naiknya harga jual atau sewa perumahan, seperti misalnya di distrik Gangnam yang jadi pemukiman kelas atas Seoul. Ini karena banyak orang tua ingin tinggal di dekat sistem pendidikan terbaik untuk memberi anak-anak mereka kesempatan yang lebih baik agar mereka bisa masuk ke universitas terkemuka di negara itu, seperti Universitas Nasional Seoul, Universitas Korea, dan Universitas Yonsei.

Pemerintah di Korea Selatan telah dipaksa untuk mengakui bahwa larangan les privat bukanlah solusi— orang Korea akan terus menghabiskan banyak uang untuk pendidikan anak-anak mereka. Tingkat kelahiran tetap rendah karena kendala keuangan dan meskipun siswa dari Asia secara signifikan berprestasi lebih baik daripada siswa dari Eropa, namun menurut program OECD untuk Penilaian Siswa Internasional (PISA), banyak anak sekolah di Korea Selatan sangat menderita akibat tekanan tersebut.

Pandemi COVID-19 telah memaksa banyaknya hagwon untuk tutup, sebuah langkah yang membuat para siswa sangat senang. Namun sayangnya bagi mereka, penutupan – setidaknya untuk saat ini – hanya bersifat sementara. (kpas)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement