REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Menteri Pertahanan Inggris, Ben Wallace, mengklaim bahwa mayoritas negara anggota NATO menolak seruan untuk tetap di Afghanistan. Keputusan itu diambil setelah hengkangnya pasukan AS dari negara itu. Menurut Wallace tidak ada opsi untuk terus bertahan di Afghanistan.
"Kami mencoba berbicara dengan sejumlah negara yang berpikiran sama. Beberapa mengatakan mereka tertarik, tetapi parlemen mereka tidak. Jadi jelas, tanpa AS sebagai negara utama, opsi ini ditutup,” kata Wallace seperti dilansir dari Sputnik News, Senin (9/8).
“Pemerintah Inggris sedih, setelah semua darah dan harta yang telah dikorbankan selama ini. Tapi semuanya telah berakhir,” sambung dia.
Wallace menambahkan, kemungkinkan Inggris untuk secara sepihak menempatkan kekuatan militer di Afghanistan juga tidak efektif. Karena Inggris harus menarik pasukan dari banyak tempat di seluruh dunia.
Menhan Inggris juga mengecam kesepakatan yang dibuat Donald Trump saat menjabat presiden AS dan Taliban. Menurutnya, kesepakatan itu termasuk pada kesalahan strategi. Di bawah kesepakatan yang ditandatangani pada 2020 itu, pasukan asing harus menarik diri pada 1 Mei.
"Saya sedih bahwa kesepakatan itu karena menghancurkan apa yang telah dicapai di Afghanistan selama 20 tahun. Kami mungkin akan kembali dalam sepuluh atau 20 tahun. Tetapi bertindak sekarang, tidak mungkin,” kata Wallace.
Baca juga : Mualaf Aziz, Akhir Perjalanan 3 Tahun Sembunyikan Islam
Meski banjir kritik, Joe Biden dan para penasehatnya tidak berniat mengubah rencana mereka untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan pada akhir Agustus. Pentagon siap untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan kepada otoritas Afghanistan di tengah penarikan pasukan.
Kebuntuan antara pemerintah Afghanistan dan Taliban telah berkobar, di tengah penarikan pasukan internasional dari negara yang dilanda perang itu. Kelompok teroris telah menggenjot kemajuan mereka, menyebabkan keprihatinan besar di kalangan masyarakat internasional.
Pekan lalu, Taliban mengumumkan bahwa mereka telah merebut ibu kota Provinsi Nimruz, pusat provinsi pertama yang direbut gerakan teroris sejak 2016.