REPUBLIKA.CO.ID. Oleh Nur Aini, Fernan Rahadi
Pasukan Taliban baru saja menguasai Afghanistan lagi. Pemerintahan sah Afghanistan bentukan negara-negara sekutu bubar dan sang presiden kabur dengan membawa uang yang sangat banyak.
Pemerintahan Joe Biden malah menyalahkan penguasa Afghanistan yang bubar atas kemenangan dan kembalinya Taliban berkuasa. Joe Biden baru saja menarik ribuan tentaranya dari tanah Afghanistan sebelum kekacauan terjadi begitu cepat.
Taliban pernah berkuasa di Afghanistan dengan memberlakukan kebijakan-kebijakan kontroversi termasuk soal wanita. Salah satu korban kekejaman Taliban adalah pelajar cilik Malala Yousafzai, yang ditembak pasukan Taliban Pakistan pada Oktober 2012.
Malala tidak asing dengan ancaman pembunuhan setelah membuat blog yang berisi bagaimana berjuang hidup di bawah kekuasaan Taliban di layanan BBC Urdu. Publikasinya mengkritik Taliban dan tindakan kekerasan melawan anak-anak sekolah.
Dia ditembak di leher dan kepala saat perjalanan pulang dari sekolah pada 9 Oktober 2012. Malala selamat dan menjadi duta besar dunia untuk hak semua anak untuk pergi ke sekolah.
Peluru yang ditembakan hampir mengenai otaknya. Enam hari setelah ditembak, Malala pun dibawa ke RS Queen Elizabeth di Birmingham, Inggris. Dia menghabiskan tiga bulan di rumah sakit dan menjalani beberapa kali operasi.
Baca juga : Taliban Berkuasa, Biden Salahkan Pemerintah Afghanistan
Tembakan itu tidak menghentikannya untuk melakukan kampanye hak pendidikan bagi perempuan. Termasuk menulis blog anonim untuk BBC dan tampil di dokumenter New York Times.
Dia bahkan merayakan ulang tahun ke-16 dengan memberikan pidato di PBB dan menjadi orang termuda yang dinominasikan penghargaan Nobel Perdamaian. Dia juga mendirikan Malala Fund, organisasi non-profit untuk mendukung pendidikan perempuan di seluruh dunia.
Ayah Malala, Zianuddin Yousafzai menjalankan sebuah sekolah perempuan di lembah Swat dan menjadi target Taliban. "Saya tidak takut, tapi saya telah mulai memastikan gerbang terkunci pada malam dan bertanya ke Tuhan apa yang terjadi ketika mati," tulis Malala di autobiografi berjudul I am Malala.
Taliban tampaknya kesal dengan Malala yang ternyata bisa bertahan hidup dan terus aktif sebagai pejuang kebebasan. Pada awal Oktober 2013, Taliban Pakistan menyatakan jika ada kesempatan akan membunuh Malala Yousafzai karena dianggap menyerang Islam.
Juru bicara Taliban Pakistan menyatakan tidak menarget karena advokasi Malala terkait pendidikan untuk perempuan. "Kami menarget Malala Yousafzai karena dia menyerang dan melecehkan Islam. Jika kami menemukan dia lagi, [maka dia] akan kami bunuh dan kami akan merasa bangga atas kematiannya," ujar Shahidullah Shahid kepada ABC News saat itu.
Taliban menyatakan saat itu mereka tidak menarget Malala karena menyebarkan pendidikan, namun karena melecehkan Islam dan itu alasan yang cukup untuk menyerangnya.
"Dia bukan gadis yang pemberani dan tidak memiliki keberanian. Kami akan menarget dia lagi dan menyerang kapan pun punya kesempatan," kata Shahidullah Shaid yang dikutip dari Aljazirah pada 8 Oktober 2013.
Mulla Fazullah, tokoh spiritual Taliban di Distrik Swat Pakistan, mengeluarkan fatwa agar nyawa Malala segera dihabisi. Mulla menganggap pena lebih dahsyat dari pedang.
Namun, Tuhan berkata lain. Malala menjadi megabintang dalam arus deras perubahan dunia. Media Jerman, Deutsche Welle, pada Januari 2013 menobatkan Malala sebagai "anak usia belasan tahun yang paling masyhur di dunia".
Malala berpidato di PBB pada Juli 2013. Ia berpidato di kampus Universitas Harvard. Malala meraih Nobel Perdamaian pada 2014.
Malala Yousafzai pun mengunjungi Pakistan untuk pertama kalinya pada akhir Maret 2018 sejak ditembak Taliban. Usianya saat kembali ke Pakistan itu 20 tahun.
Malala terus berjuang membela kebebasan dan hak-hak perempuan, sementara Taliban kembali berkuasa di Afghanistan.