REPUBLIKA.CO.ID, BUENOS AIRES -- Seorang perempuan Rohingya pada Selasa (17/8) bersaksi di depan pengadilan di Argentina melawan genosida militer Myanmar terhadap Muslim di negara bagian Rakhine.
Saksi mata, yang identitasnya dirahasiakan karena alasan keamanan, adalah satu dari enam perempuan Rohingya yang diperlakukan tidak manusiawi oleh tentara Myanmar di negara asal mereka dan sekarang tinggal di kamp Bangladesh yang sempit. Dia menceritakan perlakuan yang diterimanya secara virtual di Pengadilan Banding Kriminal Federal di Buenos Aires, ibu kota Argentina.
Genosida Rohingya telah dipisahkan menjadi dua fase, yang pertama adalah kampanye militer dari Oktober 2016 hingga Januari 2017, dan yang kedua telah berlangsung sejak Agustus 2017. Dia bersaksi di pengadilan tentang bagaimana militer Myanmar membunuh suaminya dan orang lain di negara bagian Chuk Pyin dan Rakhine.
“Tentara membunuh ratusan orang. Beberapa wanita diperkosa sebelum dibunuh. Para tentara kemudian memperkosa banyak perempuan lain di desa mereka dan kemudian membakar rumah mereka hingga rata dengan tanah,” ujar dia.
Organisasi Rohingya Burma Inggris (BROUK), pembela hak Rohingya yang berbasis di Inggris, mengajukan petisi pada November 2019 untuk membuka penyelidikan atas peran para pemimpin sipil dan militer Myanmar dalam melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap Rohingya, dengan mengutip prinsip yurisdiksi universal.
Kejahatan semacam itu dapat diselidiki di mana saja di dunia di bawah prinsip yurisdiksi universal, di mana pun kejahatan itu dilakukan.
“Ini adalah momen bersejarah bagi saudara dan saudari Rohingya di mana-mana. Kami telah memperjuangkan keadilan untuk genosida terhadap kami selama beberapa dekade, tetapi ini adalah pertama kalinya di mana saja di dunia bahwa seorang Rohingya memiliki kesempatan untuk duduk secara langsung di depan pengadilan, tidak memihak dan independen, untuk berbicara tentang kejahatan terhadap kami,” kata Presiden BROUK Tun Khin.