Selasa 24 Aug 2021 21:50 WIB

Revisi Aturan PLTS Atap Bebani APBN dan PLN

Skema ekspor impor PLTS Atap ke jaringan PLN abaikan potensi uang APBN yang menguap

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta. Rencana revisi Permen ESDM No 49/2018 dibuat tanpa perencanaan matang soal beban PLN kedepan. Perubahan skema ekspor impor listrik dari PLTS berpotensi membebani APBN dan PLN.
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta. Rencana revisi Permen ESDM No 49/2018 dibuat tanpa perencanaan matang soal beban PLN kedepan. Perubahan skema ekspor impor listrik dari PLTS berpotensi membebani APBN dan PLN.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana revisi Permen ESDM No 49/2018 dibuat tanpa perencanaan matang soal beban PLN kedepan. Perubahan skema ekspor impor listrik dari PLTS berpotensi membebani APBN dan PLN.

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Mukhtasor menjelaskan perubahan skema ekspor impor PLTS Atap ke jaringan listrik PLN dari 1:0,65 menjadi 1:1, mengabaikan potensi uang APBN yang menguap tanpa nilai tambah industri nasional produsen PLTS.

"Padahal aturan sebelumnya lebih rasional dan adil. Setrum yang diproduksi oleh PLTS Atap diekspor ke jaringan PLN pada siang hari, dan digunakan oleh pemasang PLTS Atap pada malam hari dengan dikurangi 35 persen sebagai kompensasi biaya penyimpanan listrik," ujar Mukhtasor, Selasa (24/8).

Ia menjelaskan kompensasi ini merefleksikan biaya untuk mengatasi berbagai masalah, diantaranya listrik yang berubah menjadi panas selama masa transmisi, perbedaan biaya pembangkitan pada siang dan malam hari, serta biaya menyalakan pembangkit untuk siaga mengantisipasi ketidakpastian pasokan PLTS karena cuaca dan sebagainya. Skema ini diistilahkan 1:0,65. 

Mukhtasor menyatakan draft Revisi Permen ESDM mengabaikan biaya-biaya tersebut, dimana semua listrik yang diekspor siang dapat 100 persen diimpor kembali malam. 

"Istilahnya skema 1:1. Dengan demikian, kompensasi biaya penyimpanan ditanggung oleh PLN," ujar Mukhtasor.

Ia pun menilai beban kepada PLN juga akhirnya akan membebabi APBN. Lebih dari itu, PLN juga menanggung konsekuensi lain, misalnya tergerusnya penggunaan listrik PLN padahal konsumsi pelanggan itu dulu masuk dalam perhitungan ketika Pemerintah menugaskan PLN melaksanakan percepatan 10.000 MW dan 35.000 MW.

"Produksi listrik dari program penugasan tersebut sudah masuk ke sistem PLN, dan saat ini sedang over supply. Artinya, ada risiko pemborosan nasional tetapi tidak diiringi dengan nilai tambah industri nasional." ujar Mukhtasor.

Mukhtasor menilai pemerintah harus membatalkan Draft Revisi Permen ESDM tersebut. Sebagai gantinya, Mukhtasor menyarankan strategi menguatkan industri nasional produsen solar cell.

"Uang yang semula harus digunakan menutup kompensasi biaya penyimpanan setrum dari PLTS Atap tersebut, diubah menjadi insentif untuk industri nasional rantai pasok PLTS, utamanya produsen solar cell," ujarnya.

Dengan demikian harga solar cell dari industri nasional di pasaran makin kompetitif, dan pengguna PLTS Atap bisa membelinya lebih murah. Keekonomian PLTS Atap juga akan meningkat baik. Minat dan dukungan pada PLTS Atap akan meningkat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement