Rabu 25 Aug 2021 12:50 WIB

Gangguan Kesehatan Mental Meningkat Pasca-kudeta Myanmar

Jika gangguan kesehatan mental dikesampingkan, maka akan ada konsekuensi serius.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Demonstran memberikan hormat tiga jari selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 21 Mei 2021.
Foto: EPA/STRINGER
Demonstran memberikan hormat tiga jari selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 21 Mei 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Kudeta militer dan pandemi Covid-19 menyebabkan peningkatan gangguan kesehatan mental di Myanmar. Seorang konselor khawatir jika gangguan kesehatan mental dikesampingkan, maka akan ada konsekuensi serius.

Seorang konselor lepas di Yangon, Cherry Soe Myint bekerja sama dengan Kelompok Riset Kesehatan Mental Terapan di Universitas Johns Hopkins membuka layanan konsultasi secara gratis. Layanan konsultasi terbuka bagi mereka yang tidak mampu membayar bantuan profesional.

Baca Juga

Secara pribadi, Cherry Soe Myint mengalami langsung dampak kesehatan mental setelah kehilangan ayah dan bibinya. Tak hanya itu, kesehatan mental diperburuk oleh kudeta dan pandemi Covid-19. Dia mencatat bahwa sejak kudeta, tujuh dari setiap 10 pasien yang dirawatnya mengungkapkan niat bunuh diri. Sedangkan sebelum kudeta, hanya ada dua atau tiga kasus setiap tiga bulan.

“Ketika saya berbicara dengan klien saya, saya melihat mereka berniat untuj bunuh diri karena putus asa dan tidak berdaya. Mereka berpikir bahwa mereka tidak memiliki masa depan, mereka tidak dapat mengatasi situasi yang sangat mengganggu ini, sehingga mereka berpikir untuk bunuh diri,” kata Cherry Soe Myint, dilansir Aljazirah, Rabu (25/8).

Pekan lalu, lima pemuda yang terdiri dari empat pria dan satu perempuan melompat dari sebuah gedung di Yangon untuk menghindari serangan pasukan keamanan. Dua dari lima pemuda itu dikonfirmasi telah meninggal.

Bagi sebagian besar warga Myanmar, ketakutan yang mendalam terhadap militer berasal dari pengalaman yang mereka alami atau yang mereka dengar di bawah rezim militer sebelumnya. Rezim militer menguasai Myanmar selama hampir 60 tahun hingga 2010. Bahkan untuk Generasi Z, yang tumbuh di lingkungan yang lebih demokratis, memiliki ketakutan terhadap pemerintahan militer. Hal itu telah memicu peningkatan kesehatan mental.

“Kakek dan orang tua kami sudah berjuang melawan ini dan menghabiskan bertahun-tahun di penjara atau meninggal.  Jika ini belum berakhir, apakah akan sama bagi kita dengan kekuasaan militer yang lebih dari puluhan tahun?," ujar Phyu Pannu Khin, seorang anggota diaspora Myanmar di Amerika Serikat dan seorang kandidat PhD dalam psikologi klinis yang telah menawarkan layanan kesehatan mental secara online kepada orang-orang di Myanmar sejak kudeta.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement