REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Mantan kepala intelijen Arab Saudi, Pangeran Turki al-Faisal mengkritik langkah penarikan Amerika Serikat (AS) dari Afghanistan. Dia mengatakan, kerajaan khawatir senjata AS di Afghasnitan bisa saja jatuh ke tangan kelompok bersenjata seperti Alqaeda.
Berbicara dengan CNBC News, Pangeran Turki al-Faisal, yang memimpin intelijen Saudi selama lebih dari dua dekade, mengkritik keputusan pemerintahan Joe Biden dalam menarik pasukan dari Afghansitan yang bakal menyisakan akar terorisme. "Saya tidak tahu kata mana yang harus digunakan, apakah ketidakmampuan, kecerobohan, manajemen yang buruk, itu semua kombinasi dari hal-hal tersebut," ujar Faisal seperti dikutip laman Middle East Eye (MEE), Selasa (31/8).
Taliban mulai mengambil alih pemerintahan Afghanistan sesaat setelah AS menarik pasukannya. Sejak penarikan AS dan asing, pasukan Taliban menguasai senjata AS, termasuk kendaraan yang disita dari militer Afghansitan.
Faisal mengatakan, hal itu menimbulkan kekhawatiran bagi Saudi tentang letak sebenarnya peralatan itu berada. "Sangat mengkhawatirkan, aspek itu, dan sekarang dengan persenjataan ini, sekutu Taliban, alqaeda, dapat menguasainya, itu akan menjadi lebih mengkhawatirkan," katanya.
Dia menambahkan bahwa kelompok bersenjata itu menargetkan kerajaan terlebih dahulu sebelum orang lain ataupun negara lain. Saudi sebagian besar membatasi tanggapannya di Afghanistan. Namun, seorang diplomat asing di Riyadh mengatakan kepada Reuters dengan syarat anonim, bahwa Saudi memiliki hubungan historis dengan Afghanistan dan pada akhirnya harus menerima Taliban lagi. Mereka tidak punya pilihan lain.
Mantan presiden AS Donald Trump telah menengahi kesepakatan dengan Taliban di Doha pada 2020. Berdasarkan kesepakatan tersebut AS sepakat menarik semua pasukannya mulai Mei 2021 secara bertahap. Imbalannya, adalah berbagai jaminan keamanan dari Taliban.
Biden kemudian memerintahkan peninjuauan kembali ketika ia mulai menjabat pada Januari. Pada 14 April, Biden kemudian mengumumkan penundaan empat bulan dari tenggat waktu Trump.
"Ketika Trump membuat kesepakatan dengan Taliban sebelum dia meninggalkan jabatannya, tidak dapat dihindari bahwa pemerintah akan kehilangan legitimasinya," kata Faisal. "Sulit untuk mengetahui apa yang membuat Amerika Serikat bernegosiasi dengan mereka," ujarnya menambahkan.
Riyadh membekukan hubungan dengan Taliban pada 1998 atas penolakan mereka untuk menyerahkan Osama bin Laden, yang dicabut kewarganegaraan Saudinya karena serangan di kerajaan dan aktivitasnya terhadap keluarga kerajaan. Sementara itu, Pangeran Turki mencatat bahwa Iran, Pakistan, dan AS, China dan Rusia, dapat memiliki pengaruh signifikan di Afghanistan setelah Taliban naik ke tampuk kekuasaan.
Beijing adalah salah satu pemerintahan negara dunia pertama yang menyatakan kesediaan untuk terlibat dengan Taliban. Sementara Rusia mengatakan, akan mempertahankan kehadiran diplomatiknya di Afghasnitan setelah Taliban mengambil alih Kabul.
"Kami telah melihat duta besar Rusia, duta besar China, duta besar Iran dan duta besar Pakistan tidak hanya tetap di Kabul, tetapi membuat pernyataan tentang hubungan masa depan dengan Taliban," kata Turki. "Ada sesuatu yang terjadi antara Taliban dan negara-negara ini tentang ke mana mereka akan pergi di masa depan."