REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sejumlah pejabat keamanan Amerika Serikat (AS) mengkhawatirkan bahwa kelompok ekstremis sayap kanan di negara itu dapat terinspirasi Taliban setelah resmi mengambil alih Afghanistan. Menurut laporan, para pejabat khawatir bahwa pengambil alihan Taliban atas Afghanistan dapat mengispirasi serangan kekerasan di AS.
John Cohen dari Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) mengatakan bahwa supremasi kulit putih dan kelompok ekstremis kekerasan lainnya telah membingkai kegiatan Taliban sebagai sebuah keberhasilan.
Pejabat DHS juga menggarisbawahi bahwa kelompok-kelompok tersebut telah mengadakan pembicaraan tentang konsep penggantian yang hebat. Keyakinan bahwa masuknya pengungsi Afghanistan atau imigran lain dapat mengancam kedudukan dan kekuatan orang kulit putih Amerika.
"Ada kekhawatiran bahwa narasi tersebut dapat memicu kegiatan kekerasan yang diarahkan pada komunitas imigran, komunitas agama tertentu atau bahkan mereka yang dipindahkan ke AS,” ujar Cohen, dilansir Ani News, Jumat (3/9).
Ketika Pemerintah Afghanistan yang dipimpin Presiden Ashraf Ghani jatuh ke tangan Taliban dan pasukan AS menyelesaikan penarikan, supremasi kulit putih dan ekstremis lainnya telah menyatakan kekaguman atas apa yang disebut kelompok teroris sebagai kemenangan. Situasi ini telah membuat para pejabat keamanan di negara itu prihatin, yang telah bergulat dengan ancaman ekstremisme kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan senjata.
Baca juga : Serangan WTC, Keluarga 9/11 Curiga FBI Berbohong
Selain itu, gelombang sentimen anti-pengungsi dari kelompok sayap kanan telah disaksikan atas upaya AS untuk mengevakuasi orang dari Afghanistan. Juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price pada Rabu (1/9) lalu mengatakan Amerika telah membawa hampir 24 ribu warga Afghanistan yang berisiko untuk tetap finggal di sana.
Ketika AS menyelesaikan penarikannya dari Afghanistan, seorang pejabat senior Departemen Pertahanan yang menjadi ketua Kepala Staf Gabungan, Mark Milley mengatakan bahwa ada banyak upaya operasional dan strategis yang dapat dipelajari dari negara Asia Selatan itu. Ia menyebut bahwa ini adalah pengalaman militer.
“Bagaimana kami mencapai momen ini di Afghanistan akan dipelajari selama bertahun-tahun yang akan datang. Kami akan mendekati ini dengan kerendahan hati, transparansi, dan keterbukaan,” jelas Milley.
Menurut Milley, ada banyak pelajaran taktis, operasional, dan strategis yang bisa dipelajari dari keberadaan AS di Afghanistan. Pasukan Amerika meninggalkan negara itu pada 31 Agustus pagi, menandai akhir dari perang terpanjang yang pernah dilakukan Washington.