REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR SERI BEGAWAN -- Pemerintah militer Myanmar sepakat dengan permintaan ASEAN melakukan gencatan senjata hingga akhir tahun demi memastikan bantuan kemanusian dapat distribusikan. Hal itu pertama kali dilaporkan kantor berita Jepang, Kyodo yang mengutip perwakilan Asosiasi Negara Asia Tenggara untuk Myanmar.
Sejak militer mengkudeta pemerintahan Myanmar yang sah bulan Februari lalu ASEAN mencoba mengakhiri kekerasan yang telah menewaskan ratusan orang di negara tersebut. Asosiasi negara-negara Asia Tenggara juga membuka dialog antara militer dan oposisi.
Perwakilan ASEAN untuk Myanmar Erywan Yusof mengatakan usulan gencatan senjata yang disampaikan dalam konferensi video dengan Menteri Luar Negeri Wunna Maung Lwin dan militer telah diterima.
"Ini bukan gencatan senjata politik, ini gencatan senjata untuk memastikan keamanan, (dan) keselamatan pekerja kemanusiaan, dalam usaha mendistribusika bantuan dengan aman," kata Erywan seperti dikutip Kyodo, Ahad (5/9) kemarin.
"Mereka tidak sepakat dengan apa yang saya katakan, mengenai gencatan senjata," tambahnya.
Kyodo melaporkan Erywan juga telah menyampaikan usulannya secara tidak langsung dengan pihak oposisi pemerintahan militer Myanmar. Juru bicara militer belum menanggapi permintaan komentar.
Sebelumnya pada Sabtu (4/9) lalu, Erywan mengatakan ia masih bernegosiasi dengan militer mengenai kunjungan yang diharapkan dapat dilakukan sebelum akhir Oktober. Serta akses ke pemimpin sipil yang digulingkan militer, Aung San Suu Kyi.
"Apa yang kami serukan saat ini adalah agar semua pihak menghentikan kekerasan terutama yang berkaitan dengan distribusi bantuan kemanusiaan," katanya.
Negara-negara ASEAN dan mitra dialognya telah menjanjikan bantuan sebesar 8 juta dolar untuk Myanmar. Militer merebut kekuasaan setelah menuduh pemerintah sipil Partai National League for Democracy yang dipimpin peraih hadian Nobel Suu Kyi mencurangi pemilu.
Lembaga pemantau pemilu internasional dan komisi pemilihan umum dalam negeri membantah tuduhan militer.