REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Taliban telah mengumumkan struktur pemerintahan barunya untuk Afghanistan. Meski masih bersifat sementara, pemerintahan itu di luar harapan banyak pihak, terutama dalam hal inklusivitas. Semua tokoh yang diberi jabatan adalah laki-laki.
Amerika Serikat (AS) mengaku prihatin dengan afiliasi dan rekam jejak dari beberapa tokoh Taliban yang ditunjuk mengisi jabatan tinggi pemerintah. “Kami mencatat daftar nama yang diumumkan secara eksklusif terdiri dari individu yang menjadi anggota Taliban atau rekan dekat mereka dan tidak ada wanita. Kami juga prihatin dengan afiliasi dan rekam jejak beberapa individu,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, dikutip Aljazirah, Rabu (8/9).
Setidaknya ada dua tokoh “problematik” yang duduk di jajaran pemerintahan Taliban. Pertama adalah Mullah Mohammad Hasan Akhun yang ditunjuk sebagai perdana menteri. Dia diketahui pernah menjabat sebagai menteri senior selama pemerintahan ultrakonservatif Taliban di Afghanistan pada dekade 1990-an.
Tokoh kedua adalah Sirajuddin Haqqani yang ditunjuk sebagai menteri dalam negeri. Dia adalah pendiri jaringan “Haqqani” yang diklasifikasikan sebagai kelompok teroris oleh AS. Haqqani merupakan salah satu orang yang paling dicari FBI karena keterlibatannya dalam serangan bunuh diri dan kaitannya dengan Alqaidah.
Washington paham bahwa struktur pemerintahan saat ini hanya bersifat sementara. “Namun kami akan menilai Taliban dengan tindakannya, bukan kata-katanya,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS.
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengungkapkan, pemerintahannya bakal mengikuti perkembangan di Afghanistan dengan hati-hati. “Kami tidak tahu berapa lama kabinet sementara ini akan bertahan. Yang harus kita lakukan adalah mengikuti proses ini dengan hati-hati,” katanya kepada wartawan dalam kunjungan resmi ke Republik Demokratik Kongo.
Pemerintah Qatar menilai Taliban menunjukkan pragmatisme dalam struktur pemerintahan barunya. Kendati demikian, Doha menyebut Taliban adalah penguasa de facto Afghanistan saat ini. “Mari kita ambil peluang di sana, dan lihat tindakan publik mereka,” kata Asisten Menteri Luar Negeri Qatar Lolwah al-Khater
PBB mengatakan, mereka tidak akan terlibat dalam pengakuan pemerintahan Taliban di Afghanistan. Menurutnya, hal itu merupakan hak negara-negara anggota. “Dari sudut pandang kami, mengenai pengumuman hari ini, hanya penyelesaian yang dinegosiasikan dan inklusif yang akan membawa perdamaian berkelanjutan ke Afghanistan,” kata juru bicara PBB Farhan Haq.
Kepala badan perempuan PBB, Pramila Patten, mempertanyakan komitmen Taliban untuk melindungi dan menghormati hak-hak perempuan. Menurut dia, partisipasi politik perempuan merupakan prasyarat dasar untuk kesetaraan gender dan demokrasi sejati.
“Dengan mengecualikan perempuan dari mesin pemerintahan, kepemimpinan Taliban telah mengirimkan sinyal yang salah tentang tujuan yang mereka nyatakan untuk membangun masyarakat yang inklusif, kuat, dan sejahtera,” ujar Patten.