REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Listrik tidak bisa dijangkau 20 persen masyarakat di pedesaan Mali. Namun, sebuah kompleks perajin sudah mulai gunakan tenaga surya, dan jadi panutan bagi komunitas.
Penjahit Kassim Sanogo punya banyak murid. Mereka belajar, bagaimana menjahit secara profesional, baik pakaian tradisional Dloki-Bas bagi perempuan, maupun Pipaus bagi pria. Di desa Koury yang lokasinya terpencil di pedalaman Mali, bisa belajar dari Kassim Sanogo jadi kebanggaan tersendiri.
“Saya membuka pusat pelatihan ini untuk melatih orang muda menjahit,“ kata penjahit itu.
Karena di sini tidak banyak pekerjaan, banyak orang pergi ke daerah lain untuk belajar soal perdagangan, padahal di sini juga bisa. “Jadi saya rasa, pembuatan pusat pelatihan ini akan jadi kesempatan baik bagi orang muda,” demikian ditambahkan Sanogo.
Tenaga surya buka kesempatan bagi banyak orang
Ini semua dimungkinkan oleh energi surya, yang jadi sumber listrik bagi tempat pelatihan tukang jahit Sanogo. Tempat jahitnya jadi bagian sebuah pusat bisnis yang didirikan organisasi bantuan Prancis, GERES. Pusat industri ini dilengkapi modul sel tenaga surya. Ini kemajuan besar bagi pengusaha kecil seperti Sanogo.
“Instalasi di pusat bisnis ini membuat pekerjaan kami jauh lebih mudah,” kata Sanogo.
Dia mengatakan sangat bagus jika ada akses listrik permanen dengan harga yang terjangkau. Untuk biaya listrik, ia harus membayar sekitar Rp 260.000 sebulan. Tapi dengan itu, ia menawarkan kesempatan kerja bagi 30 orang muda Mali.
Di pusat bisnis, yang selesai dibangun 2019 itu, juga ada 15 perusahaan kecil lain. Banyak perajin lainnya, seperti pembuat meja atau tukang las, juga punya bengkel di sini. Demikian halnya dengan seorang fotografer, seorang pemotong rambut, sebuah restoran dan stasiun radio lokal.