REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sebuah kelompok yang terdiri atas 358 warga Myanmar dan organisasi masyarakat sipil internasional mendesak PBB untuk mempertahankan Kyaw Moe Tun sebagai perwakilan tetap Myanmar untuk PBB. Desakan itu tertuang dalam sebuah surat yang disampaikan menjelang pertemuan komite kredensial PBB pekan ini.
Dalam sebuah surat kepada anggota Majelis Umum yang dirilis pada Senin (13/9), kelompok tersebut mengatakan, bahwa Kyaw Moe Tun telah memberikan suara penting di PBB untuk rakyat Myanmar dan pemerintahan yang digulingkan militer. Politisi dari pemerintah yang digulingkan sejak itu membentuk National Unity Government (NUG).
"Ada risiko nyata bahwa rasa puas diri dari negara-negara anggota PBB dapat mengakibatkan rakyat Myanmar dirampas hak suaranya di PBB, atau bahkan junta militer menerima akreditasi resmi PBB sebagai perwakilan dari orang-orang yang telah mereka bunuh dan siksa tanpa ampun," ujar pendiri Progressive Voice, Khin Ohmar seperti dikutip laman Aljazirah, Senin (13/9).
Progressive Voice merupakan salah satu kelompok yang menandatangani surat tersebut. "Oleh karena itu, kami membutuhkan setiap negara anggota PBB yang menghargai kemanusiaan, perdamaian dan stabilitas, dan menghormati kehendak rakyat, untuk menolak – seperti yang telah dilakukan oleh rakyat Myanmar – junta militer dan kekejaman massalnya, dan mengambil sikap terbuka untuk mendukung dari U Kyaw Moe Tun dan NUG," ujarnya.
Komite Kredensial PBB, yang terdiri dari sembilan negara anggota PBB, termasuk Cina, Rusia dan Amerika Serikat, akan bertemu pada Selasa (14/9) untuk mempertimbangkan siapa yang harus mewakili Myanmar. Mereka memilih antara Duta Besar Kyaw Moe Tun atau perwakilan para jenderal yang merebut kekuasaan tujuh bulan lalu. Komite akan menyampaikan rekomendasinya kepada Majelis Umum.
Menurut Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), sekitar 1.080 orang telah tewas dalam tindakan keras junta sejak kudeta dan lebih dari 6.000 orang telah ditahan. Beberapa orang lainnya telah melarikan diri melintasi perbatasan ke Thailand di tengah serangan udara di daerah perbatasan atau untuk melarikan diri dari jaring militer.
Anggota dewan ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) dan mantan menteri luar negeri Thailand, Kasit Piromya mengatakan bahwa jika PBB mengakui perwakilan militer, itu akan menjadi kesalahan besar. "Junta adalah antitesis dari nilai-nilai inti PBB tentang perdamaian, hak asasi manusia, keadilan dan kemajuan sosial." kata Kasit dalam sebuah pernyataan.
"Membiarkannya duduk di PBB tidak hanya akan merusak peluang untuk melihat perdamaian dan demokrasi lagi di Myanmar, tetapi akan merusak kredibilitas semua upaya PBB di seluruh dunia," katanya.
Pada Juni, Majelis Umum PBB memilih untuk mengutuk kekerasan yang berlebihan dan mematikan yang digunakan oleh militer Myanmar, yang juga dikenal sebagai Tatmadaw, sebagai tanggapan terhadap oposisi yang meluas terhadap perebutan kekuasaannya. "Militer Myanmar bertanggung jawab atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, dan terus membunuh dan menangkap orang-orangnya sendiri karena menentang kudeta,” kata Simon Adams, direktur eksekutif Pusat Global untuk Tanggung Jawab Melindungi, yang juga menandatangani surat tersebut.
"Tidak ada negara yang harus mengakui atau mendukung junta militer Myanmar."