Kamis 16 Sep 2021 07:58 WIB

Diplomat Inggris Ungkap Pembongkaran Menara Masjid Abad ke-14 di China

Diplomat Inggris Ungkap Pembongkaran Menara Masjid Abad ke-14 di China

Red:
Diplomat Inggris Ungkap Pembongkaran Menara Masjid Abad ke-14 di China
Diplomat Inggris Ungkap Pembongkaran Menara Masjid Abad ke-14 di China

Wakil Dubes Inggris untuk China Christina Scott menanggapi terjadinya pembongkaran kubah dan menara masjid di China barat, sehingga kembali menarik perhatian pada isu penindasan terhadap minoritas Muslim di negara itu.

Melalui sebuah posting di media sosial minggu ini, Christina Scott mengomentari foto Masjid Dongguan yang ada dalam buku panduan wisata, dan kondisi masjid itu sekarang.

"Buku panduan wisata sudah ketinggalan zaman. Ada ajakan mengunjungi Masjid Raya Dongguan. Jadi saya pun ke sana. Namun masjid itu ditutup karena renovasi yang tampaknya menghilangkan kubah dan menara," tulis Christina.

Salah satu komentar menyebut, "Ketika saya berada di sana pada bulan Juli, menaranya masih terlihat."

Postingan ini mendapat beberapa balasan berupa foto-foto masjid itu dengan kubah hijau besar dan dua menara tinggi, perpaduan arsitektur Islam dan China tradisional.

Masjid Dongguan — masjid tertua di provinsi Qinghai, dekat wilayah Xinjiang — dibangun pada abad ke-14 di era Dinasti Ming.

Christina juga mengaku melihat simbol bulan sabit Islam telah dihilangkan dari masjid lain di daerah itu.

Perubahan pada bentuk arsitektur masjid terjadi di tengah penindasan yang sedang berlangsung terhadap minoritas Muslim dan komunitas agama lainnya di bawah program "Sinoisasi" agama yang dijalankan Partai Komunis China (PKC).

"Tujuan utama PKC adalah memberantas agama dan gerakan lain yang berada di luar PKC,” jelas Anna Hayes, dosen politik di James Cook University.

"Kita melihat tindakan keras berkelanjutan dan penindasan terhadap Falun Gong pada 1990-an, dan telah lama terjadi pada warga Tibet, orang Kristen, Muslim dan sebagainya," katanya.

"Akibat dari semua ini, PKC percaya warga masyarakat akan mengganti agama dan keyakinan mereka dengan kecintaan dan pengabdian terhadap partai," tambah Anna Hayes.

Koneksi Islam ke dunia luar dicurigai

Pemerintah China meluncurkan rencana lima tahun pada tahun 2018 untuk "Sinkronisasi" Islam.

Dalam rencana tersebut, ajaran Islam diwajibkan mempromosikan "Islam dengan karakteristik China" dan patriotisme.

"Pemerintah China ingin Islam di China terlihat dan terdengar seperti China," kata David Brophy, pakar China di University of Sydney.

Ia mengatakan, segala sesuatu yang melambangkan koneksi ke dunia Islam yang lebih luas berpotensi dicurigai.

"Dalam hal ini, kita melihat bangunan yang menyerupai arsitektur Islam di Asia Selatan atau Timur Tengah dihilangkan kubahnya yang khas,” kata Dr Brophy.

"Ini telah terjadi di seluruh negeri, dan tidak hanya dalam kaitannya dengan bangunan keagamaan," jelasnya.

Laporan Australian Strategic Policy Institute tahun 2020 memperkirakan sekitar 16.000 masjid di Xinjiang telah dihancurkan sejak 2017.

Pemerintah China membantah laporan tersebut sebagai "rumor".

"Masjid-masjid dengan "arsitektur Arab yang indah" sekarang melebihi jumlah sekolah di beberapa daerah miskin di China," tulis Xi Wuyi dari Akademi Ilmu Sosial China di media sosial Weibo.

Profesor Xi mengatakan pembangunan masjid semakin banyak dilakukan di daerah terbelakang di China barat, yang didanai oleh negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait.

Pihak berwenang China mengatakan negaranya kini memiliki "lebih banyak masjid per kapita daripada kebanyak an negara Muslim".

Namun demikian, Presiden Xi Jinping telah mendorong pengembangan "agama dengan karakteristik China".

Inggris dituding ingin permalukan China

Sejak 2017, pemerintah China telah dituduh melakukan pelanggaran HAM melalui penahanan massal, kerja paksa, dan pengawasan warga di Xinjang.

Warga Uyghur yang berbahasa Turki dan kelompok lain seperti warga Kazakh menjadi sasaran penindasan paling keras.

Namun dalam beberapa tahun terakhir ada juga laporan tentang meningkatnya pembatasan ibadah bagi minoritas Muslim Hui, yang secara budaya lebih mirip dengan mayoritas etnis Han di China.

Pada tahun 2018 misalnya, warga Muslim Hui mencoba menghentikan pembongkaran masjid di wilayah otonomi Ningxia Hui, yang menurut pihak berwenang dibangun tanpa izin.

Wakil Dubes Inggris Christina Scott tahun lalu juga memposting di Twitter tentang pemindahan kubah dan menara masjid di Ningxia Hui, yang lebih dari sepertiga penduduknya penganut Islam.

"Tujuannya jelas untuk mempermalukan pemerintah China dan menarik perhatian pada isu ini," kata Dr Brophy tentang postingan tersebut.

"Pembatasan ibadah orang Islam sekarang menjadi topik sensitif dalam diplomasi China-Inggris," jelasnya.

Christina Scott juga telah melakukan perjalanan ke Tibet, di mana Beijing telah memaksakan "kesatuan budaya" pada umat Buddha Tibet sejak mengambil alih wilayah itu pada pertengahan abad ke-20.

Dalai Lama menyebut kebijakan China di Tibet sebagai "genosida", istilah yang juga digunakan pendukung Uyghur untuk menggambarkan penindasan di Xinjiang.

Sejumlah parlemen negara-negara Barat, termasuk AS, Kanada dan Inggris, telah mendeklarasikan kebijakan China terhadap Uyghur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang sebagai genosida.

Kementerian Luar Negeri China dan Kedutaan Besar Inggris di Beijing telah dimintai komentar namun belum memberikan jawaban.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement