Usai menebar janji menerapkan corak pemerintahan yang lebih moderat, kelompok Taliban perlahan menggugurkan hak-hak perempuan, dengan larangan bekerja bagi pegawai pemerintah atau pembatasan hak pendidikan bagi remaja.
"Saya sama saja mati,” kata seorang perempuan yang dipecat dari jabatan tinggi di Kementerian Luar Negeri.
"Saya dulu memimpin satu departemen, dan banyak perempuan yang bekerja dengan saya. Sekarang kami semua kehilangan pekerjaan,” kata dia kepada AFP, tanpa ingin membocorkan identitas pribadi.
Walikota Kabul baru-baru ini mengumumkan semua fungsi di pemerintahan kota yang dulu diemban perempuan akan dialihkan kepada laki-laki.
Meski Taliban tidak menerbitkan larangan umum, kaum perempuan mengeluh dikucilkan dari tempat kerja. Nasib serupa dialami anak perempuan yang dikecualikan dari program wajib belajar nasional.
Rejim baru di Kabul juga membubarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dan menggantinya dengan Kementerian Doa dan Bimbingan serta Promosi Virtual dan Pencegahan Sifat Buruk. Lembaga ini ditakuti sebagai polisi moral di masa pertama pemerintahan Taliban pada dekade 1990an.
Baca juga : Riset Sebut Pandemi Sangat Berdampak pada Perempuan
Perlawanan di tengah marjinalisasi
Meski jauh dari kesetaraan, perempuan Afganistan terbiasa memperjuangkan hak dasar selama masa pendudukan AS, sejak 20 tahun terakhir. Terutama di kota besar, perempuan menempati posisi mentereng, antara lain sebagai hakim, pengacara, pilot atau bahkan di kepolisian.
Namun kemajuan itu pupus seiring kembalinya Taliban ke kekuasaan pada 15 Agustus silam.
Serupa periode pertama kekuasaanya, Taliban tidak menggunakan alasan agama untuk melarang perempuan bekerja, tetapi atas dasar keamanan. Ketika ditanya, juru bicara Taliban mengaku larangan baru akan dicabut setelah pemisahan gender bisa dilakukan secara menyeluruh.
"Kapan itu akan terjadi?” tanya seorang guru perempuan. "Hal ini sudah pernah kami alami. Mereka selalu mengatakan akan mengizinkan kami kembali bekerja, tapi tidak pernah terjadi.”
Terhadap Taliban, kaum perempuan di kota-kota Afganistan menaruh kecurigaan. "Mereka bilang kami harus menunggu pengumuman selanjutnya. Tapi mereka berkesan tidak ingin perempuan kembali bekerja,” kata seorang pengacara kepada AFP.
Seorang rekannya yang seorang jaksa mengaku khawatir menjadi sasaran pembalasan, karena turut membantu mendakwa ratusan pejuang Taliban. "Mereka tidak sekaku seperti sebelumnya, tapi kami tidak tahu kapan sikap itu akan bertahan,” kata dia.
Segelintir perempuan di kota-kota besar memimpin aksi protes kecil yang dibubarkan paksa oleh Taliban dengan tembakan senjata dan cambukan rotan. Demonstrasi kian marak usai Kementerian Pendidikan hanya mengundang anak laki-laki untuk belajar.
Baca juga : Afghanistan dalam Sorotan Sidang Majelis Umum PBB
Adapun remaja perempuan dilarang bersekolah. Di kota Herat, Marwa yang berusia 10 tahun berharap bisa kembali ditemani oleh kakaknya yang kini dipaksa berlibur. "Saya ingin agar pemerintahan baru membuka kembali sekolah. Ini permintaan saya kepada Taliban,” kata dia.
rzn/gtp (afp, dpa)