REPUBLIKA.CO.ID, NEWYORK -- Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menjadikan China sebagai bahan utama dalam pidatonya di Majelis Umum PBB. Ia memetakan era persaingan ketat tanpa Perang Dingin yang baru.
Biden memang tidak mengucapkan kata 'China' atau 'Beijing', tetapi sepanjang pidato ia memberikan pesan tersirat ia sedang membahas kompetitor AS tersebut. Dua perekonomian terbesar di dunia itu sedang berselisih mengenai pengaruh di Indo-Pasifik, perdagangan dan isu-isu hak asasi manusia.
Ia mengatakan AS akan bersaing dengan ketat, baik dalam sektor ekonomi maupun dalam mendorong sistem demokrasi serta supremasi hukum. "Kami akan membela sekutu-sekutu dan rekan-rekan kami dan menentang upaya negara-negara kuat mendominasi yang lemah, entah melalui perubahan wilayah dengan paksa, koersi ekonomi, eksploitasi teknis atau disinformasi, tapi kami tidak mencari, sekali lagi kami tidak mencari, Perang Dingin baru atau memecah dunia menjadi blok-blok yang kaku," kata Biden, Selasa (21/9) kemarin.
Biden juga berjanji tidak ada langkah militer dan meningkatkan upaya penanggulangan perubahan iklim. Dalam Sidang Umum PBB, Biden mengatakan AS akan membantu berbagai krisis di berbagai belahan dunia mulai dari Iran, Semenanjung Korea hingga Ethiopia.
Biden mengatakan dunia menghadapi 'dekade yang menentukan'. Menurutnya pemimpin dunia harus bekerja sama mengatasi pandemi virus Corona, perubahan iklim dan ancaman serangan siber.
Ia berjanji AS akan melipatgandakan komitmen finansial dalam penanggulangan perubahan iklim dan akan menggelontorkan 10 miliar dolar AS untuk mengurangi kelaparan di seluruh dunia.
Baca juga : Indonesia Khawatir Perlombaan Senjata Usai Pakta AUKUS
Di kesempatan yang sama Presiden China Xi Jinping mengatakan China tidak akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri. Dalam pidato yang disiarkan melalui video, Xi juga mengkritik AS. "Perkembangan situasi global baru-baru ini sekali lagi menunjukkan intervensi militer dari luar dan apa yang disebut transformasi demokrasi tidak membawa apa-apa selain kerusakan," kata Xi.
Di dalam negeri Biden dikritik karena proses evakuasi warga AS dan Afghanistan yang terancam bahaya di bawah pemerintah Taliban tidak berjalan dengan mulus. Sejumlah warga AS dan Afghanistan yang harus keluar dari negara itu masih terjebak di sana.
Tekanan Biden pada persatuan sekutu diuji lagi dengan kerja sama tiga arah antara AS, Inggris dan Australia. Kemitraan tersebut mendorong Negeri Kanguru membatalkan kesepakatan dengan Prancis dan membuat Paris marah.
Usai menghadiri acara tahunan PBB itu Biden bertemu dengan Perdana Menteri Australia Scott Morrison di New York dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson di Gedung Putih. Sementara stafnya berusaha membuat janji sambungan telepon dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk meredakan ketegangan mengenai kesepakatan kapal selam.
"Kami mengakhiri konflik 20 tahun di Afghanistan dan saat kami menutup era perang tanpa lelah, kami membuka era baru diplomasi tanpa lelah," kata Biden.
Ia menambahkan AS akan mempertahankan kepentingan nasionalnya, tapi 'misinya harus jelas dan dapat dicapai'. Biden mengatakan militer Amerika 'tidak boleh digunakan untuk menjawab semua masalah di seluruh dunia.'
Biden yang berasal dari Partai Demokrat diharapkan kembali menunjukan AS masih dapat menjadi mitra dan sekutu yang dapat diandalkan. Setelah empat tahun masa pemerintahan mantan Presiden Donald Trump yang menerapkan kebijakan 'American First'.
Baca juga : Inggris Ajak Cina-Rusia Cegah Afghanistan Jadi Surga Teroris