REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengecam rencana Taliban menerapkan kembali hukuman eksekusi dan amputasi di Afghanistan. Washington menilai, hal semacam itu melanggar hak asasi manusia (HAM).
“Kami berdiri teguh dengan komunitas internasional untuk membuat pelaku, dari setiap pelanggaran tersebut, bertanggung jawab,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price saat mengomentari rencana Taliban, dikutip Al Arabiya, Sabtu (25/9).
Sebelumnya, salah satu pendiri Taliban, Mullah Nooruddin Turabi, mengungkapkan, kelompoknya akan kembali menerapkan hukuman eksekusi dan amputasi. Namun berbeda dengan dulu, hal itu mungkin tidak dilakukan secara publik.
Dalam sebuah wawancara dengan Associated Press, Turabi menepis kemarahan atas eksekusi yang dilakukan Taliban pada masa pemerintahannya tahun 1996-2001. Aksi penghukuman itu terkadang terjadi di hadapan orang banyak di sebuah stadion.
Turabi memperingatkan dunia agar tidak ikut campur dengan pemerintahan Taliban di Afghanistan saat ini, termasuk perihal hukum. “Semua orang mengkritik kami atas hukuman di stadion, tetapi kami tidak pernah mengatakan apa pun tentang hukum mereka dan hukuman mereka,” katanya, Kamis (23/9).
Ia menekankan, tidak akan ada pihak yang akan “mendikte” perihal bagaimana seharusnya Taliban menerapkan hukum di Afghanistan. “Kami akan mengikuti Islam dan kami akan membuat hukum kami berdasarkan Alquran,” ucap Turabi.
Turabi mengatakan, kali ini, hakim, termasuk wanita, akan mengadili kasus-kasus kejahatan. Namun ia menekankan dasar hukum Afghanistan adalah Alquran. Dia mengatakan hukuman eksekusi dan amputasi akan dihidupkan kembali. “Pemotongan tangan sangat diperlukan untuk keamanan,” ujarnya.
Menurutnya, hukuman semacam itu akan memiliki efek jera. Dia mengatakan saat ini kabinet sedang mempelajari apakah akan melakukan hukuman di depan umum dan akan "mengembangkan kebijakan”.
Turabi adalah mantan menteri kehakiman dan kepala Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan pada masa pemerintahan Taliban sebelumnya. Kementerian tersebut kerap dikenal sebagai “polisi agama”.