REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi mengatakan, Covid-19 menghambat upaya untuk memastikan pengiriman bantuan kemanusiaan yang cepat dan tepat. Pandemi juga menimbulkan masalah-masalah yang tidak muncul menjadi mengemuka untuk bantuan kemanusiaan di seluruh dunia.
"Sumber daya bahkan lebih terbatas. Dukungan keuangan, antara lain, sangat dibatasi terutama karena beban yang ditimbulkan oleh Pandemi," ujar Menlu Retno dalam pembukaan Regional Conference on Humanitarian Assistance (RCHA), Rabu (6/10).
Retno mengatakan, kebijakan pembatasan Covid-19 juga menimbulkan tantangan dalam distribusi logistik. Dengan terbatasnya pergerakan barang dan orang, ujar dia, akses untuk pengiriman bantuan kemanusiaan kepada masyarakat yang terkena dampak menjadi terbatas.
Retno mendata, lebih dari seperempat konflik dunia terjadi di Asia dan Pasifik. Kawasan ini sekarang menampung 4,4 juta pengungsi. Kondisi mendesak ini semakin diperparah oleh pandemi Covid-19. Pada Oktober, lebih dari 58,9 juta kasus telah dilaporkan di 34 negara di kawasan dan telah mencatat setidaknya 952 ribu orang meninggal dunia karena virus.
Harapan masyarakat internasional mengenai hal tersebut pun jatuh pada peran penting nasional dan aktor lokal kemanusiaan. Menurut Retno, bukti menunjukkan bahwa aktor nasional dan lokal tetap aktif dan inovatif dalam menanggapi situasi kemanusiaan.
"Mereka termasuk palang merah dan bulan sabit merah, organisasi kemanusiaan berbasis agama, sektor swasta, filantropis dan masyarakat sipil," tutur Retno.
"Kepemimpinan mereka, bergandengan tangan dengan Pemerintah, telah inklusif dan cepat dalam menangani kebutuhan yang ada di lapangan," ujarnya menambahkan.
Oleh karena itu, tema Konferensi Regional tentang kemanusiaan tahun ini sangat relevansi. Indonesia dalam konferensi ini menyoroti tiga poin penting untuk memajukan kepemimpinan kemanusiaan nasional dan lokal.
Pertama, terang Retno, mengedepankan nilai dan kearifan lokal dengan memberikan pemahaman tentang semangat yang melatarbelakangi aksi kemanusiaan itu sendiri. "Di Indonesia semangat gotong royong atau meminjam tangan masih hidup dan menggelora. Semangat ini mendorong masyarakat untuk saling membantu baik di saat senang maupun susah," ujarnya.
Kearifan lokal juga memandu para pelaku kemanusiaan dalam memberikan dan bantuan yang sesuai dengan konteks nasional dan lokal. Tanpa mereka, bantuan kemanusiaan tidak akan sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat yang terkena dampak di tingkat lokal.
Kedua, Retno mengatakan, bahwa penguatan kapasitas kemanusiaan di tingkat nasional dan lokal adalah merupakan hal penting. "Upaya bersama kita harus bertujuan untuk memperkuat kepemimpinan aktor nasional dan lokal, diperlukan transformasi pola pikir – dari melihat komunitas nasional dan lokal sebagai penerima menjadi melihat mereka sebagai agen aksi," katanya.
"Kepemimpinan dan suara aktor nasional dan lokal harus diintegrasikan dan diarusutamakan dalam mekanisme kerja sama yang ada dan yang akan datang dan ini harus dimasukkan dalam semua fase, termasuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi," terangnya.
Ketiga, transformasi dalam cara kemitraan yang menjadi poin penting. Upaya kemanusiaan tidak bisa lagi didapat melalui sarana tradisional. Kemitraan yang relevan, setara, dan harmonis antara aktor regional dan aktor nasional-lokal sangat penting. Kerja sama antara aktor regional, nasional, dan lokal harus saling mendukung untuk mengatasi keadaan darurat yang sedang berlangsung dan bersiap menghadapi tantangan di masa depan.