Dalam pertemuan puncak ASEAN di Jakarta bulan April lalu, Presiden Joko Widodo masih menyambut kehadiran pimpinan junta militer Jenderal Min Aung Hlaing. Setelah pertemuan itu, Jokowi mengumumkan lima butir agenda dan menyatakan yakin ASEAN dan Myanmar akan menemukan jalan keluar dari kekalutan politik itu.
Namun Brunei sebagai Ketua ASEAN saat ini kelihatannya tidak sesabar itu. Menteri Luar Negeri Brunei Erywan Yusof mengatakan dalam konferensi pers hari Rabu (6/20), kelambanan junta militer memenuhi langkah-langkah yang dituntut ASEAN berarti "sama saja dengan mundur".
Itu sebabnya, Brunei sekarang mengusulkan agar Myanmar tidak diundang ke KTT virtual ASEAN pada 26-28 Oktober mendatang.
"Hingga hari ini belum ada kemajuan pelaksanaan musyawarah mufakat lima butir tersebut, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran,” kata Erywan Yusof.
Myanmar tolak "korbankan kedaulatan negara"
Juru bicara junta militer Myanmar jenderal Zaw Min Tun minggu lalu dalam sebuah konferensi pers menyatakan, Myanmar akan bekerja sama dengan ASEAN, tetapi "tanpa mengorbankan kedaulatan negara".
Sebelumnya, berbagai organisasi hak asasi memang sudah mengkritik ASEAN dan Indonesia yang tetap mengundang jenderal Min Aung Hlaing ke Jakarta tanpa mengikutsertakan wakil-wakil elemen masyarakat Myanmar.
Yusof Erywan, yang ditugaskan ASEAN sebagai utusan khusus untuk berkonsultasi dengan junta militer di Myanmar, mlaporkan bahwa junta militer tidak menanggapi permintaannya untuk bertemu dengan Aung San Suu Kyi, mantan pemimpin yang ditahan, yang pemerintahannya digulingkan dalam kudeta militer.
Peta jalan Jakarta gagal
Menurut PBB, lebih dari 1.100 orang telah tewas sejak kudeta militer awal tahun ini. Ribuan orang telah ditangkap setelah aksi protes dan pemogokan menentang kekuasaan militer. Namun, junta militer Myanmar mengatakan, perkiraan itu terlalu berlebihan dan anggota pasukan keamanannya juga ada yang tewas.
Peta jalan yang diajukan ASEAN dalam KTT di Jakarta mencakup komitmen untuk berdialog dengan semua pihak, memungkinkan akses kemanusiaan, dan menghentikan permusuhan. Namun, pertemuan virtual para menteri luar negeri ASEAN hari Senin (4/10) menyatakan kekecewaannya, Sejarah panjang kediktatoran militer Myanmar dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia telah menjadi masalah paling rumit ASEAN, menguji batas kesatuannya dan kebijakan non-intervensinya.
Tetapi pertemuan para menteri luar negeri secara virtual pada Senin menyuarakan kekecewaan tentang kurangnya kemajuan yang dibuat oleh Dewan Administrasi Negara (SAC), sebutan resmi junta milkiter Myanmar.
hp/pkp (rtr)