REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian mengharapkan negosiasi mengenai kesepakatan nuklir Iran 2015 akan segera dimulai kembali di Wina. Kesepakatan itu memberikan keringanan sanksi kepada Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya.
Amir-Abdollahian mengatakan pembicaraan nuklir dapat segera dilanjutkan. "Kami sekarang menyelesaikan konsultasi mengenai masalah ini dan akan segera memulihkan negosiasi kami di Wina," katanya setelah pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Moskow dilansir Al Arabiya, Rabu (7/10).
Juru bicara komisi keamanan nasional dan kebijakan luar negeri parlemen Mahmoud Abbaszadeh Meshkini mengatakan pembicaraan akan dilanjutkan dalam beberapa hari mendatang. "Pesan dan sinyal dari negara-negara Barat menunjukkan dimulainya siklus baru pembicaraan," katanya.
Pihak Iran akan dipimpin oleh Kementerian Luar Negeri atau Dewan Keamanan Nasional Tertinggi dalam upaya tersebut. Keputusan lembaga itu harus dikonfirmasi oleh pemimpin tertinggi, Ayatollah Ali Khamenei.
"Biasanya, garis strategis negara yang luas ditentukan oleh Dewan Tertinggi dan dilaksanakan oleh kementerian luar negeri," kata Meshkini.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah mengisyaratkan kesediaan untuk kembali ke kesepakatan. Namun, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken memperingatkan pekan lalu bahwa waktu hampir habis dan bola ada di tangan Iran.
Iran secara bertahap membatalkan komitmen nuklirnya sejak 2019, setahun setelah Presiden AS Donald Trump menarik dari perjanjian multilateral dan mulai menjatuhkan sanksi. Terlepas dari keputusan Biden untuk membalikkan langkah Trump, pembicaraan di Wina untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu menemui jalan buntu sejak Juni, ketika Presiden baru Iran yang ultrakonservatif Ebrahim Raisi terpilih.