Senin 11 Oct 2021 11:48 WIB

Pertemuan Konstruktif, Taliban Ingin Pengakuan dari AS

Delegasi AS fokus pada masalah keamanan dan terorisme di Afghanistan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Bendera Taliban dipasang di depan sepeda motor di Kabul, Afghanistan, Selasa, 28 September 2021.
Foto: AP/Bernat Armangue
Bendera Taliban dipasang di depan sepeda motor di Kabul, Afghanistan, Selasa, 28 September 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Delegasi Taliban dan Amerika Serikat (AS) telah mengadakan pembicaraan secara jujur ​​dan profesional di ibu kota Qatar, Doha. Menurut seorang pejabat AS, pembicaraan yang berlangsung selama dua hari itu, berfokus pada masalah keamanan dan terorisme, termasuk hak-hak perempuan dan anak perempuan.

"Diskusi itu jujur ​​dan profesional, delegasi AS yang menegaskan kembali bahwa Taliban akan diadili atas tindakannya, bukan hanya kata-katanya," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price, dilansir Aljazirah, Senin (11/10).

Baca Juga

Price mengatakan, delegasi AS fokus pada masalah keamanan dan terorisme, termasuk perjalanan yang aman bagi warga AS, warga negara asing lain, dan mitra Afghanistan. Taliban dan AS juga membicarakan hak asasi manusia, termasuk partisipasi perempuan dan anak perempuan dalam semua aspek masyarakat Afghanistan.

 “Kedua belah pihak juga membahas pemberian bantuan kemanusiaan dari Amerika Serikat kepada rakyat Afghanistan," kata Price.

Aljazirah melaporkan, delegasi Afghanistan menggambarkan pembicaraan dengan AS berlangsung positif. Taliban berharap pembicaraan ini dapat membuka jalan bagi pengakuan pemerintah Afghanistan oleh AS dan masyarakat internasional.

Dalam pembicaraan tersebut, delegasi Afghanistan yang dipimpin Menteri Luar Negeri Afghanistan, Mullah Amir Khan Muttaqi,  meminta AS mengakhiri sanksi ekonomi dan mencairkan aset senilai 10 miliar dolar AS.

Taliban mengatakan, mereka perlu membayar pegawai pemerintah dan memberikan layanan kepada warga Afghanistan. Namun AS maupun Taliban tidak mengatakan apakah ada kesepakatan yang dicapai selama pembicaraan.

Taliban mengambil kembali kekuasaan di Afghanistan pada 15 Agustus, setelah hampir 20 tahun mereka digulingkan dalam invasi pimpinan AS. Ketika itu, Taliban digulingkan karena menolak menyerahkan pemimpin Alqaidah Usmah bin Laden, menyusul serangan 11 September 2001 di AS.

Dalam pembicaraan tersebut, para pejabat AS mengatakan, AS meminta Taliban membebaskan warganya yaitu Mark Frerichs yang diduga diculik jaringan Haqqani pada Januari 2020. Sementara prioritas utama lainnya adalah mempertahankan komitmen Taliban untuk tidak membiarkan Afghanistan kembali menjadi sarang Alqaidah atau kelompok bersenjata lainnya.

Para pejabat AS mengatakan, pembicaraan itu merupakan kelanjutan dari keterlibatan pragmatis dengan Taliban. Pembicaraan tersebut bukan tentang memberikan pengakuan atau legitimasi kepada kelompok militan tersebut.

Washington dan negara-negara Barat  mencoba mencari cara untuk terlibat dengan Taliban dan memastikan distribusi bantuan kemanusiaan berjalan lancar. Namun, mereka tidak ingin memberikan legitimasi kepada kelompok tersebut.

Baca juga : Tentara Israel Gerebek Rumah Ulama Pelindung Masjid Al-Aqsa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement