Di antara para penentangnya ialah sebagian kaum mawali (non-Arab). Mereka membenci watak pemerintahan Bani Umayyah yang fanatik kearaban. Sebagian besar khalifah Umayyah memiliki kebanggaan yang berlebihan terhadap identitas bangsanya. Kalangan mawali pun dianggapnya rendah, apalagi yang tergabung dalam kubu pemberontak.
Masalah tidak hanya muncul dari daerahdaerah. Di lingkungan istana pun, benih-benih perpecahan kian melebar. Penyebabnya ialah pengangakatan lebih dari satu putra mahkota. Untuk diketahui, sebagian besar khalifah Umayyah mengangkat lebih dari seorang penerus takhta.
Biasanya seorang putra tertua diwasiatkan terlebih dahulu untuk kelak menduduki singgasana raja. Setelah itu, wasiat dilanjutkan kepada putra kedua, putra ketiga, dan seterusnya, atau salah seorang kerabat khalifah, seperti paman atau saudaranya. Perselisihan timbul karena putra mahkota yang lebih dahulu menjadi raja cenderung mengangkat putranya sendiri, alih-alih adik-adik kandungnya atau karib kerabat.
Menurut Benson Bobrick dalam The Caliph Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad, raja dan para bangsawan Umayyah memiliki ketergantungan pada kekuatan militer. Hal itu khususnya terjadi pada masa sesudah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Lebih lanjut, ketidakcakapan Damaskus dalam mengelola Persia menjadi sumber dari problem besar di ujung zaman dinasti tersebut.
Pada akhirnya, dua hal meruntuhkan kekuasaan Umayyah. Pertama, pembusukan sistem kesu kuan Arab tempat bergantungnya kekuatan militer mereka. Kedua, ketidakpuasan terhadap pemerintah yang muncul dari kesalahannya mengelola Persia, kata Bobrick.
Baca juga : Yogyakarta Antisipasi Kedatangan Wisatawan Saat Nataru