Mantan kepala bagian perangkat lunak (software) Pentagon, Nicolas Chaillan, mengaku, China jauh lebih unggul di bidang kecerdasan buatan (AI) dibandingkan AS.
"Kita tidak punya peluang bersaing melawan China dalam 15 sampai 20 tahun ke depan,” kata Chaillan dalam sebuah wawancara dengan Financial Times, surat kabar bisnis yang berbasis di London, Inggris.
Chaillan menyebut, situasi saat ini sudah "tak bisa ditawar lagi”. Persaingan antara China dan AS "sudah berakhir”, katanya.
Seperti dilaporkan Financial Times, Chaillan memperkirakan, China saat ini sedang bergerak mendominasi dunia karena kemajuannya di bidang kecerdasan buatan, machine learning, dan kemampuan siber.
Chaillan juga mengkritik kemampuan pertahanan siber AS di beberapa departemen pemerintah yang ia sebut masih berada di level "taman kanak-kanak”.
Wawancara Chaillan dengan Financial Times merupakan yang pertama sejak ia mundur dari jabatannya di Pentagon.
Pengunduran dirinya merupakan bentuk protes terhadap lambatnya perubahan teknologi di tubuh pemerintahan AS, khususnya di bidang militer.
AS dan Cina adu kuat di bidang teknologi?
Pada Juni lalu, Senat AS telah menyetujui UU Inovasi dan Persaingan Amerika Serikat untuk meningkatkan produksi semikonduktor dalam negeri, pengembangan kecerdasan buatan, dan teknologi lainnya.
Suntikan dana sekitar 250 miliar dolar AS (Rp 3,5 kuadriliun) untuk diinvestasikan dalam lima tahun ke depan dipandang secara luas sebagai uang tunai yang memang sangat dibutuhkan dalam perlombaan inovasi teknologi melawan Cina.
Presiden AS Joe Biden usai pengesahan UU itu bahkan mengatakan, "AS berada dalam kompetisi untuk memenangkan abad ke-21 dan senjata awal telah dikeluarkan.”
Namun, komite urusan luar negeri Kongres Rakyat Cina dalam sebuah pernyataan mengatakan, UU baru AS tersebut "merongrong pembangunan Cina” dan "menganggu urusan dalam negeri Cina di bawah panji inovasi dan persaingan.”
Seberapa pentingkah teknologi AI?
Para pejabat tinggi dunia semakin menaruh perhatian terhadap perkembangan AI dan ancaman yang mungkin ditimbulkannya di masa depan.
Seperti pada pertengahan September lalu, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet menekankan, ada kebutuhan mendesak terkait moratorium penjualan dan penggunaan sistem AI.
Pada pertemuan perdana Dewan Perdagangan dan Teknologi (TTC) AS dan UE akhir September lalu, AI juga turut menjadi agenda pembahasan.
Sementara itu, Direktur Pusat Kecerdasan Buatan Gabungan AS (JAIC) pada awal Oktober lalu mengatakan, arsitektur dan jaringan AI "adalah senjata” yang perlu diperlakukan layaknya senjata.
Menurutnya, ada sejumlah ancaman baru yang bermunculan saat ini, seperti manipulasi data (data poisoning), spoofing, dan deep fakes.
Ketika teknologi AI terus berkembang dan tumbuh, peluangnya menjadi target serangan siber juga semakin meningkat. Oleh karenanya, keamanan jaringan menjadi sangat penting, kata pejabat AS itu.
gtp/as (Reuters, AFP)