REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan negaranya tidak akan menggunakan gas sebagai senjata dan siap membantu meringankan krisis energi Eropa, Rabu (13/10). Hal itu disampaikan bersamaa saat Uni Eropa menggelar pertemuan darurat untuk mengatasi harga gas yang meroket.
"Ini hanya obrolan bermotivasi politik, yang tidak memiliki dasar apa pun," katanya.
Menurut Putin pada konferensi energi di Moskow bahwa pasar gas tidak seimbang atau dapat diprediksi, khususnya di Eropa. Namun, Rusia telah memenuhi kewajiban kontraktualnya untuk memasok klien dan siap untuk meningkatkan pasokan jika diminta.
Pejabat Komisi Eropa menyatakan, Uni Eropa (UE) belum meminta Rusia untuk meningkatkan pasokan gas ke blok tersebut. Beberapa politisi Eropa mengatakan Rusia menggunakan krisis bahan bakar sebagai pengaruh, tuduhan yang berulang kali dibantah.
Perselisihan pipa baru
Rusia dan Eropa terlibat dalam perselisihan mengenai pipa baru, Nord Stream 2, untuk memasok gas Rusia ke Jerman. Pipa dibangun tetapi menunggu persetujuan untuk mulai memompa, di tengah tentangan dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang khawatir itu akan membuat Eropa semakin bergantung pada Rusia.
Sementara itu, permintaan energi telah melonjak karena ekonomi telah pulih dari pandemi. Kondisi ini menaikkan harga minyak, gas dan batu bara, sehingga memicu tekanan inflasi dan merusak upaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang berpolusi dalam memerangi pemanasan global.
Komisi Eropa menguraikan sejumlah opsi pada Rabu bahwa 27 negara Uni Eropa akan mengambil langkah untuk memerangi krisis energi, termasuk menjajaki opsi sukarela bagi negara-negara untuk bersama-sama membeli gas. Para menteri dari negara-negara Uni Eropa mengadakan pertemuan luar biasa pada 26 Oktober untuk membahas lonjakan harga.
"Satu-satunya cara untuk sepenuhnya memisahkan gas dari listrik adalah tidak lagi menggunakannya untuk menghasilkan listrik. Ini adalah tujuan jangka panjang Uni Eropa untuk mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan," kata kepala kebijakan energi UE Kadri Simson.
Krisis energi telah memperkuat seruan Badan Energi Internasional (IEA) untuk melipatgandakan investasi dalam energi terbarukan untuk menstabilkan pasar dan memerangi perubahan iklim.
IEA yang berbasis di Paris mengatakan dunia harus menginvestasikan 4 triliun dolar AS pada 2030 dalam energi bersih dan infrastruktur. Artinya jumlah tersebut tiga kali lipat tingkat saat ini untuk mencapai emisi nol bersih dan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celcius pada 2050, target kesepakatan iklim Paris 2015 .
"Dunia tidak berinvestasi cukup untuk memenuhi kebutuhan energi masa depan," kata IEA dalam sebuah laporan,yang diterbitkan sebelum konferensi perubahan iklim COP26 PBB di Glasgow, Skotlandia, yang dimulai pada 31 Oktober.