REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Para menteri pertahanan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah menyetujui rencana baru untuk mempertahankan diri dari potensi serangan Rusia di berbagai bidang. NATO menegaskan kembali tujuan inti aliansi untuk menghalangi Moskow, meskipun fokus pada China semakin meningkat.
Strategi rahasia bertujuan untuk mempersiapkan serangan simultan di wilayah Baltik dan Laut Hitam yang dapat mencakup senjata nuklir, peretasan jaringan komputer, dan serangan dari luar angkasa.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg menyetujui anggaran senilai 1 miliar dolar AS untuk menyediakan pembiayaan dalam mengembangkan teknologi digital baru. "Kami terus memperkuat aliansi kami dengan rencana yang lebih baik dan modern,” kata Stoltenberg, usai pertemuan dengan para pejabat NATO pada Kamis (21/10).
Para pejabat menekankan bahwa, mereka tidak percaya serangan Rusia akan segera terjadi. Moskow telah membantah niat agresif. Sebaliknya, Moskow mengatakan, justru NATO yang berisiko mengacaukan Eropa dengan persiapan rencana tersebut.
Tetapi, para diplomat NATO mengatakan Konsep Pencegahan dan Pertahanan di Kawasan Euro-Atlantik dan rencana implementasi strategis sangat diperlukan. Pasalnya, Rusia mengembangkan sistem senjata canggih dan mengerahkan pasukan, serta peralatan lebih dekat ke perbatasan sekutu.
“Ini adalah cara pencegahan. Dan ini sedang disesuaikan dengan perilaku Rusia saat ini, dan kami melihat ada pelanggaran terutama di wilayah udara negara-negara Baltik, dan juga meningkatkan serangan di Laut Hitam," kata Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer tentang rencana tersebut.
Rencana regional yang lebih rinci akan rampung pada akhir 2022. Sehingga memungkinkan NATO untuk memutuskan senjata tambahan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana memposisikan pasukannya.
Pada Mei, Rusia mengumpulkan sekitar 100 ribu tentara di perbatasannya dengan Ukraina. Ini merupakan pengerahan pasukan dalam jumlah tertinggi sejak Moskow mencaplok Krimea pada 2014.
Kemudian pada September, Rusia menggunakan robot tempur baru dalam latihan militer besar dengan mantan sekutu Soviet, Belarusia yang telah membuat khawatir sekutu Baltik.
Rusia sedang meningkatkan atau mengganti sistem ruang angkasa militer Soviet untuk berpotensi menyerang satelit di orbit. Rusia juga mengembangkan teknologi berbasis kecerdasan buatan untuk mengganggu sistem komando sekutu, dan mengembangkan senjata super. Pada 2018, Rusia meluncurkan rudal jelajah hipersonik berkemampuan nuklir yang dapat menghindari sistem peringatan dini.
Pensiunan Jenderal AS Ben Hodges, yang memimpin pasukan tentara AS di Eropa dari 2014 hingga 2017,berharap rencana itu akan mendorong koherensi yang lebih besar dalam pertahanan kolektif NATO. Dengan demikian lebih banyak pengerahan sumber daya untuk wilayah Laut Hitam.
Hodges mengatakan, sekutu besar seperti Inggris dan Prancis memiliki kehadiran kuat di Laut Hitam. Sementara Turki lebih fokus pada konflik di Suriah. “Bagi saya, ini adalah titik nyala yang lebih mungkin daripada Baltik,” kata Hodges kepada kantor berita Reuters.
Mantan pejabat senior NATO yang sekarang bergabung di lembaga think-tank Friends of Europe di Brussels, Jamie Shea, mengatakan, rencana itu mungkin dapat membantu memperkuat fokus pada Rusia. Terutama pada saat sekutu utama berusaha untuk meningkatkan kehadiran mereka di Indo-Pasifik dan melawan kekuatan militer China yang meningkat.
“Asumsinya sampai sekarang adalah bahwa Rusia adalah gangguan tetapi bukan ancaman yang akan segera terjadi. Tetapi Rusia melakukan beberapa hal yang mengkhawatirkan. Mereka berlatih dengan robotika, dan rudal jelajah hipersonik yang bisa sangat mengganggu,” kata Shea.