REPUBLIKA.CO.ID, VATIKAN -- Paus Fransiskus meminta pemerintah di seluruh dunia tidak memulangkan imigran ke negara tidak aman, seperti Libya. Ia mengatakan di negara itu banyak imigran menderita karena kekerasan dan kondisi tidak manusiawi seperti di kamp konsentrasi.
Permintaan Paus disampaikan saat pemimpin-pemimpin Uni Eropa tidak bisa mengatasi perbedaan mereka mengenai bagaimana menangani imigran. Isu yang mendorong kelompok populis dan nasionalis ekstrem di seluruh Uni Eropa.
"Kita harus mengakhiri memulangkan imigran ke negara yang tidak aman, ribuan imigran, pengungsi dan lainnya yang membutuhkan perlindungan di Libya," kata Paus, Ahad (24/10).
Ia menambahkan, seharusnya penyelamatan di laut menjadi prioritas, mendaratkan mereka dengan aman dan mencari alternatif selain penjara. Lalu, memberikan jalur reguler dalam menjalankan prosedur imigrasi dan suaka.
Paus meminta masyarakat internasional 'menepati janji mereka' untuk mencari solusi jangka panjang dalam mengatasi gelombang imigrasi di Libya dan di Laut Tengah. "Banyak laki-laki, perempuan dan anak-anak (di Libya) yang menjadi korban kekerasan tak manusiawi," katanya.
Ia mengatakan begitu banyak imigran yang dipulangkan mengalami penderitaan di Libya. "Saya tidak akan melupakan kalian, saya mendengar tangis kalian," katanya.
Bulan ini kantor hak asasi PBB menuntut penyelidikan terhadap apa yang mereka sebut kekerasan tidak perlu dan tidak pantas yang dilakukan pasukan keamanan Libya terhadap imigran Afrika. Mereka menembak beberapa imigran yang mencoba melarikan diri.
Pernyataan Paus disampaikan satu hari sidang terakhir pemimpin sayap kanan League Party dan mantan menteri dalam negeri Italia Matteo Salvini didakwa atas tuduhan penculikan. Ia tidak mengizinkan kapal imigran berlabuh di Italia pada 2019.
Uni Eropa memperketat peraturan suaka dan perbatasan eksternal mereka sejak lebih dari satu juta pengungsi dan imigran menyeberang ke Eropa lewat Laut Tengah enam tahun yang lalu. Mereka menghentikan kesepakatan dengan Turki dan Libya.