REPUBLIKA.CO.ID, YERUSSALEM -- Munir Hamo, satu di antara 5.000 warga Palestina yang sebentar lagi dapat bernapas lega. Setelah 15 tahun terakhir terjebak dalam regulasi pembatasan perjalanan di Gaza, kini Ia mendapat persetujuan langka oleh Israel terkait legalitas penduduk Palestina di sana.
Lima belas tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk Munir Hamo meninggalkan keluarganya. Suami dari seorang istri dan ayah enam anak ini mendapati permasalahan awalnya sejak meninggalkan Gaza untuk pindah ke Yordania pada tahun 1981.
Langkah yang ditempuh Hamo ini justru menyebabkan hilangnya tempat tinggal permanennya di Palestina, karena daerah itu semua berhasil diduduki Israel melalui kesepakatan perdamaian sementara antara Israel dengan Palestina pada tahun 1990-an, yang mana Israel pernah merebut Tepi Barat dan Gaza pada perang Timur Tengah tahun 1967.
Dari kesepakatan itulah mengakibatkan legalitas kependudukan yang ada di daerah tersebut dikuasai Israel. "Saya belum bertemu dengan anak-anak saya selama 15 tahun. Mereka sudah menikah dan saya tak bisa menghadiri pernikahan mereka," ujar Hamo dilansir dari laman Alarabiya.
Kisah Harno dimulai ketika setahun setelah Israel menarik pasukan dan pemukimnya di Gaza, yakni tahun 2006, dimana Ia mendapatkan izin perjalanan sementara oleh Pemerintah Palestina untuk dapat menyambangi ibunya yang dalam kondisi sakit, di kediamannya di Gaza.
Namun niat baik itu malah membuat dirinya terjebak pada regulasi yang dibuat Israel dan juga Mesir. Atas dasar masalah keamanan, kedua negara itu memperketat pembatasan perjalanan untuk warga Palestina di perbatasan mereka dengan Gaza.
Hamo sudah bertahun-tahun mencoba melewati penyeberangan perbatasan Rafah Mesir, tetapi itikadnya tersebut masih terhalangi. Bahkan di tahun 2012, Ia berhasil mencapai perbatasan Yordania. Tapi lagi-lagi tanpa adanya paspor atau dokumen identitas yang sah, Yordania menolaknya sehingga Ia harus kembali ke Gaza.
Israel memang menangguhkan persetujuan pendaftaran penduduk sejak konflik memanas dengan Palestina terjadi pada tahun 2000. Kemudian di tahun 2008 dan 2009, negara itu memberikan sekitar 32 ribu izin untuk menempuh tahap legalitas penduduk Gaza ini, tetapi sebagian besar dibekukan prosesnya kecuali yang terkait dengan kasus kemanusiaan.
Kelompok advokasi Palestina memperkirakan bahwa terdapat sekitar 20 ribu orang di Tepi Barat dan Gaza masih tidak memiliki keabsahan dokumen, sehingga sampai saat ini masih belum mendapatkan tempat tinggal yang resmi.
Hamo yang kini berstatus sebagai pensiunan pegawai negeri sangat menantikan dokumen perjalanan dan identitasnya dikeluarkan oleh otoritas di negara terkait. “Saya merasa bahagia seperti seorang tahanan yang menjalani hukuman seumur hidup yang baru mengetahui bahwa dia dibebaskan lebih awal,” katanya di rumahnya di kamp pengungsi Bureij Gaza.
Pada akhirnya, setelah 15 tahun Harno hidup di Gaza tanpa istri dan anak-anaknya, dirinya mendapatkan harapan akan dapat berkumpulnya kembali dengan mereka. Hal ini akan tercapai karena Ia bersama ribuan warga Palestina lainya menerima persetujuan langka Israel, dimana mereka dimasukkan ke dalam daftar penduduk Palestina pada awal Oktober 2021.