Sanusi, warga Indonesia yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Jerman, sangat suka bercocok tanam. Bukan hanya di kebun, tapi juga di balkon, dia menanam berbagai jenis tanaman yang rata-rata adalah tanaman tropis, bahkan ada yang benihnya dibawa dari Indonesia. "Saya punya bayam dari teman yang tinggal di Banyuwangi. Ada teman dari Malang, saya dapat pohon kemangi. Lalu ada kangkung, kalau kangkung bijinya bisa beli dari sini. Akhir-akhir ini saya pertama kali selama tinggal di Jerman, mempunyai talas Bogor. Mereka pikir tidak mungkin tumbuh di Jerman karena dingin, padahal tumbuh kalau mau. Ada kangkung, terong! Cabai punya sekitar 10 jenis, dari Banyuwangi juga ada benihnya, dan masih banyak lagi," ungkap Sanusi.
Rata-rata sayur mayur yang ia tanam, ia konsumsi sendiri, dan dibagi-bagikan pada kawan-kawan serta tetangga, bahkan ke orang-orang Jerman, "Agar mereka tahu, enaknya sayuran Indonesia," kata Sanusi sambil tertawa. Apa pun yang diminati tetangga, tak pelit ia bagi kecuali pisang. Kenapa demikian? "Tanaman kebanggaan ini. Banyak orang bilang, daunnya ambil saja Kang Sanusi untuk buat pepes. Jangan lho itu, nanti aku bisa nangis, sayang itu," katanya.
Berpacu dengan waktu, tanaman-tanaman tropis atau benih dari indonesia harus tepat waku ia tanam, itu pun kadang meleset dari prakiraan. "Kita harus tahu terutama tentang cuaca ya. Saya biasanya menanam tanaman yang kalau bisa dapat biji itu bulan Februari/Maret. Jadi sekitar bulan April sudah agak tumbuh. Nah tapi, kita harus tahu cuacanya kapan. Saya keluarkan itu tanaman-tanaman saya, sekitar pertengahan Mei. Karena kalau bulan April itu kadang-kadang panas, tiba-tiba dingin lagi. Nanti tanaman bisa mati. Sudah pengalaman jelek beberapa kali, terutama pisang, itu paling sulit menanam pisang. Karena kalau terlalu pagi kita keluarin, lihat cuaca bagus, itu terlalu awal," ujarnya yang merasa lama-lama seperti pemerhati cuaca. "Seperti ahli meteorologi. Mungkin saya diam-diam jadi ahli meteorologi, karena benar-benar itu mengamati kapan hujan. Dan itu juga kan siramnya bagaimana ya. Jangan terlalu banyak, jangan terlalu sedikit. Kebanyakan air juga tanaman jadi mati, repot itu."
sebagaimana Sanusi, perempuan asal Indonesia di Bonn, Sara Tunggadewi juga bersemangat menanam tanaman tropis di rumahnya di Jerman. "Saya suka menanam sejak kecil karena ibuku suka, baru semenjak sama suamiku Matthias yang suka kebun, jadi terpengaruh suka juga berkebun, karena suami 'gila banget' berkebun, " paparnya. Dalam menghala hama tanaman, ia menggunakan teknik alami:"Misal baking soda disemprot ke daun atau pakai bawang campur air. Tahun ini karena curah hujan tinggi jadi banyak siput, itu parah sih, agresif cepat makan daun dan buah. Caranya pakai bir taruh di wadah, jadi mereka pada masuk ke wadah itu, tapi kurang efektif jika hujan sedang turun, birnya kena hujan jadi ya harus rajin malam-malam di saat mereka keluar baru dilakukan operasi pemusnahannya," ujar Sara.
Trik menanam dibutuhkan
Beberapa tanaman yang kira-kira mampu bertahan di musim dingin, namun tak bisa lagi ditempatkan di balkon atau kebun, dibawanya masuk ke dalam rumah mulai dar musim gugur hingga awal musim semi. "Ada beberapa tanaman yang eksotik dan masih kecil, saya taruh biasanya di jendela yang kena matahari langsung. Tetapi, misalkan pohon pisang itu tidak cukup karena di dalam rumah. Supaya itu bertahan di musim dingin, saya kasih lampu. Setiap hari minimal dua jam sehari,” ungkapnya tanpa pelit berbagi kiat.
Namun ia memperingatkan bahwa tiap tanaman punya waktunya sendiri-sendiri, kapan bisa dikeluarkan lagi dari alam rumah. ”Setiap tanaman itu beda-beda. Jadi misalkan tanaman kamboja yang saya punya ya. Itu saya keluarkan sekitar pertengahan Juni, akhir Juni. Karena kalau misalkan cuacanya di bawah 20 derajat itu daunnya akan kuning,” paparnya.
Gara-gara hobi menanam, Sanusi punya pengalaman unik. "Suatu ketika, saya naik kereta bawah tanah itu, naik metro ya. Lalu, mungkin mereka itu kenal saya tetapi saya tidak kenal mereka. Begitu saya naik, tiba-tiba ada seorang perempuan, dia sepertinya tinggal di daerah rumah saya. Tiba-tiba ia teriak: Hai, saya kenal kamu! Tiap hari saya selalu lihat kalau kamu lagi menyiram tanaman.”Teman-teman kita, tetangga, kata dia begitu ya, banyak yang tahu bahwa saya di sini satu-satunya yang punya pohon pisang di atas balkon,” ujarnya sambil tertawa.
Salah satu hal yang mendorong Sanusi giat bercocok tanam tanaman Indonesia antara lain karena meski sudah dua dekade hidup di Jerman, lidahnya masih selera nusantara, katanya. "Jadi meski sulit menanamnya, saya tetap berusaha. Saya selalu makan masak-masakan Indonesia tentunya. Direbus, dikasih garam sedikit, dikasih sambal, terus tempe, tahu atau rempeyek. Kita sering punya rempeyek di rumah. Saya bikin rebusan bunga labu, bayam, daun ubi. Tinggal ulek sambal, goreng telur ceplok, tambah rempeyek, beri lalapan kemangi dan terong hijau, wow sudah enak!” kata Sanusi seraya mengambil piring dan makan nasi dengan tangan.
Sudah lama Sanusi ingin menyewa kebun dan bergabung dengan asosiasi pekebun "Schrebergarten”. "Di sini kan banyak tuh, ada perkumpulan budi daya tanaman lokal atau tanaman eksotik. Mudah-mudahan ke depan saya bisa menyewa. Masalahnya, tempatnya ada, tapi belum tentu dapat begitu saja, sulit!”
Ia menjelaskan: "Karena orang lain harus setuju. Ya kalau yang lain tidak setuju, kita tidak dapat. Jangan sampai menanam tanaman yang membawa penyakit, misalnya. Nanti tanaman orang lain bisa kena, begitu. Itu juga harus diteliti, karena itu juga harus ikut aturan, tanaman apa saja yang boleh ditanam. Karena seandainya kita bawa tanaman eksotik dari Indonesia , lalu tanaman itu mengandung parasit. Nah ternyata parasitnya itu menyebar ke orang lain, itu tidak bisa begitu," pungkasnya.