Belum apa-apa, kegagalan sudah diramalkan untuk Konferensi Tingkat Tinggi Iklim COP26 yang dimulai Minggu (1/11) di Glasgow, Skotlandia.
Enam tahun silam, sebanyak hampir 200 negara menyepakati upaya bersama memerangi pemanasan global dalam Perjanjian Iklim Paris 2015. Hingga kini, belum satu pun menyepakati langkah susulan untuk memenuhi komitmen tersebut.
Upaya tersebut tidak mudah. Kecuali penurunan emisi selama pemadaman aktvitas publik menyusul pandemi corona, angka pencemaran gas rumah kaca dari pembakaran batu bara, minyak dan gas justru meningkat, bukan menurun.
Hingga 2030, dunia akan menambahkan 28 miliar ton gas rumah kaca ke atmosfer Bumi. Jumlah itu nyaris menyentuh batas akhir emisi seperti yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.
"Semua sedang dipertaruhkan jika para pemimpin dunia tidak mengambil langkah iklim,” kata pegiat lingkungan Uganda, Vanessa Nakate. "Kita tidak bisa memakan batu bara. Kita tidak bisa minum minyak Bumi atau menghirup gas alam.”
Perseteruan di jalur maut
Hal senada diungkapkan oleh Frans Timmermann, Wakil Presiden Komisi Eropa. "Kita sedang berjuang demi kelangsungan umat manusia,” kata pria yang ditugaskan menggalang upaya Uni Eropa memenuhi komitmen iklim.
"Perubahan iklim dan ekosida yang mengintai adalah ancaman terbesar bagi umat manusia,” imbuhnya. Menurut pemodelan oleh AIR Worldwide, cuaca ekstrem akan menciptakan kerugian senilai USD 320 miliar per tahun bagi perekonomian dunia.
Bahkan setelah beberapa negara kembali menegaskan komitmen emisinya pun, "kita masih berjalan di jalur yang sama menuju bencana iklim,” kata Sekretaris Jendral PBB, Antonio Guterres, Selasa (26/10) silam.
Sejak berbulan-bulan, PBB melobi negara-negara dunia untuk menyepakati tiga sasaran, yakni komitmen mengurangi emisi sebanyak 45% pada 2030 dibandingkan estimasi emisi tahun 2100, dana sumbangan senilai USD 100 miliar per tahun dari negara kaya dan pembiayaan untuk program adaptasi dampak bencana iklim di kawasan yang rentan.
Negara-negara kaya sejauh ini berhasil mengurangi sasaran tersebut, dan menunda deklarasinya untuk waktu yang belum ditetapkan. "Akan ada ketimpangan dalam sasaran emisi,” kata utusan iklim Amerika Serikat, John Kerry.
Bergantung pada AS dan Cina
Menurut Perjanjian Paris, semua negara harus mengkaji ulang pencapaian dan komitmen emisinya setiap lima tahun sekali, dan menyusun rencana untuk mempercepat pengurangan. Sesuai jadwal, KTT tahun ini akan mencakup evaluasi dan penguatan komitmen iklim dari semua negara peserta.
Di Glasgow, perpecahan dan lemahnya kepercayaan antarnegara menyulitkan pembahasan agenda iklim, kata sejumlah diplomat PBB kepada AP.
Negara kaya seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa bertanggungjawab atas pemanasan global sebagai dampak dari industrialisasi dan globalisasi. Kini, mereka menuntut negara miskin memangkas emisi, dengan janji bantuan senilai USD 100 miliar per tahun untuk membantu transformasi menuju energi bersih.
Tapi sejauh ini, dana tersebut belum juga terkumpul. "Kegagalan memenuhi komitmen ini adalah sumber terbesar rusaknya kepercayaan antara negara industri dan negara berkembang,” kata Guterres.
Menurut Direktur Program Lingkungan PBB (UNEP), Inger Andersen, kemampuan COP26 untuk menghasilkan perubahan berarti akan banyak bergantung pada Cina dan Amerika Serikat. "Kita butuh agar dua adidaya ini mengenyampingkan perbedaan dan menunjukkan kepemimpinan iklim,” katanya.
rzn/yp (ap/rtr)