REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) pada Selasa (2/11) mengatakan, sekitar satu miliar anak di seluruh dunia menghadapi risiko sangat tinggi dari konsekuensi perubahan iklim. Penasihat senior UNICEF untuk iklim, energi, dan lingkungan, Gautam Narasimhan, mengatakan, dua pertiga dari rencana iklim negara tidak menangani kebutuhan dan prioritas anak-anak.
"Sementara para pemimpin berbicara tentang dampak krisis iklim pada anak-anak, terlalu sedikit yang mengubah kata-kata ini menjadi tindakan bermakna yang benar-benar mempertimbangkan anak-anak," ujar Narasimhan, dilansir Anadolu Agency, Rabu (3/11).
Narasimhan mengatakan, dari 103 negara yang merencanakan perubahan iklim, hanya 35 di antaranya atau sekitar sepertiga yang peka terhadap nasib anak-anak. Pada Agustus, UNICEF menerbitkan Indeks Risiko Iklim Anak, yang mengungkapkan bahwa, 99 persen dari 2,2 miliar anak di dunia terkena setidaknya satu ancaman lingkungan, termasuk gelombang panas, angin topan, banjir, kekeringan, vektor- penyakit bawaan, polusi udara, dan keracunan timbal.
"Sekitar 1 miliar anak tinggal di negara-negara yang berisiko sangat tinggi dari ancaman perubahan iklim. Anak-anak ini menghadapi guncangan iklim yang berlipat ganda, mengancam kesehatan, pendidikan, dan kelangsungan hidup mereka," kata Narasimhan.
Narasimhan mendesak tanggapan terhadap krisis iklim, dengan mengutamakan kepentingan anak-anak. Dia meminta pemerintah untuk meningkatkan investasi dalam adaptasi dan ketahanan iklim.
"Anak-anak adalah kelompok yang paling sedikit berkontribusi pada emisi global, dan menghadapi dampak terbesar dari perubahan iklim. Ini adalah komunitas yang akan melihat pertumbuhan terbesar dalam populasi anak selama beberapa dekade mendatang," ujar Narasimhan.
Menurut Narasimhan, pengurangan emisi CO2 mungkin terlambat bagi anak-anak. Karena pengurangan emisi akan memakan waktu puluhan tahun. Narasimhan mengutip penilaian Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), bahwa sejak 2015 suhu di bumi telah meningkat. WMO menyatakan, 2021 dapat menjadi salah satu tahun terpanas.
Pada laporan terbaru Save the Children secara global "Born Into the climate Crisis" atau "Lahir pada Masa Krisis Iklim" menyerukan agar perlunya tindakan dan aksi yang harus dilakukan segera untuk melindungi hak-hak anak.
Secara global, anak-anak yang lahir pada 2020 akan menghadapi 7 persen lebih banyak kebakaran hutan, 26 persen lebih banyak gagal panen, 31 persen lebih banyak kekeringan, 30 persen lebih banyak banjir sungai, dan 65 persen lebih banyak gelombang panas jika pemanasan global dihentikan pada 1,5°C.